YLKI: Cukai Rokok Rendah Hasilkan Efek Rantai Penyakit

By Vapemagz | News | Selasa, 22 Januari 2019

Keputusan pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok pada tahun 2018-2019 menghadirkan polemik. Salah satu pihak yang mengaku kecewa dengan keputusan tersebut adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI. Menurut YLKI, tidak dinaikannya cukai rokok akan berdampak kepada kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Harga rokok yang relatif rendah disinyalir menjadi salah satu sebab mengapa angka perokok di Indonesia masih tinggi. Salah satu cara untuk menekan angka perokok adalah menaikkan harga rokok, yakni dengan mengenakan cukai. Lantaran cukai tidak naik, YLKI mengatakan hal ini akan menghasilkan efek rantai pada kesehatan masyarakat.

Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, salah satu penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan jika dirunut kaitannya adalah mulai dari harga rokok yang murah hingga melonjaknya kasus penyakit tidak menular.

“Buntut dari melambungnya penyakit tidak menular adalah kinerja BPJS Kesehatan yang makin empot-empotan. Dan klimaksnya mengalami financial bleeding, yang pada 2018 mencapai Rp16,5 triliun,” kata Tulus dalam konferensi pers Refleksi Pengendalian Tembakau 2018 di Jakarta beberapa waktu lalu.

Tulus menilai selama ini kenaikan cukai rokok sangat minim, yakni hanya 10,14 persen pada 2017 dan tidak dinaikkan sama sekali pada 2018 dan 2019. Menurutnya, saat ini besaran tarif cukai rokok baru mencapai 38 persen dari harga ritel.

Menurut YLKI, tarif cukai rata-rata internasional untuk rokok berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) berada pada 75 persen dari harga ritel. Menurut UU tentang Cukai, cukai rokok bisa dinaikkan hingga 57 persen. Angka terakhir ini telah ditetapkan pada hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti likuid vapor.

YLKI
Menurut YLKI, tidak dinaikannya cukai rokok akan berdampak kepada kesehatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Rendahnya tarif cukai rokok ini menyebabkan harga rokok di pasaran menjadi sangat murah. Selain itu, rokok juga bisa dibeli secara satuan atau ketengan oleh kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan kalangan rumah tangga miskin. Hal ini berdampak pada peningkatan prevalensi merokok pada usia 10 sampai 18 tahun (kategori anak-anak) yang menurut Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 adalah 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

YLKI menyebut lebih dari 35 persen orang Indonesia adalah perokok dan 70 persennya merupakan perokok pasif. Sekitar 70 persen perokok berasal dari kalangan keluarga miskin. Kebiasaan merokok dianggap menjadi salah satu penyebab terbesar dari penyakit katastropik yang terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun.

Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan kenaikan pada prevalensi penyakit tidak menular seperti penyakit kanker dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen di 2018. Penyakit stroke juga naik dari 7 persen menjadi 10,9 persen. Sementara itu, penyakit ginjal kronik juga naik dari 2 persen menjadi 3,8 persen, sedangkan diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.

“Melambungnya prevalensi penyakit tidak menular ini berkolerasi dengan gaya hidup seperti merokok, minimnya aktivitas fisik, minim asupan buah dan sayur, serta konsumsi minuman beralkohol. Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular adalah bukti pemerintah tidak melakukan pengendalian konsumsi rokok, yang secara de facto merupakan pencetus utama meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular,” kata Tulus.

Sekadar informasi, beban pembiayaan terbesar program Jaminan Kesehatan Nasional yang harus ditanggung BPJS Kesehatan berasal dari penyakit katastropik yang salah satunya disebabkan oleh konsumsi rokok. Menurut Anggota Komnas Pengendalian Tembakau, Jalal hasil cukai atau pajak denda yang didapat dari rokok masih lebih kecil jumlahnya dibandingkan nilai kerugian dari dampak negatif yang dihasilkan oleh rokok.

“Cukai itu denda dan nilainya sangat jauh dari kerusakan yang ditimbulkan. Sebanyak Rp149 triliun yang didapat dari cukai rokok, tapi kerugian kesehatan akibat rokok sebesar Rp596 triliun,” kata Jalal.

(Via Antara)

Comments

Comments are closed.