Penetapan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tak ditujukan untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara semata. Sejatinya, tujuan penetapan cukai adalah untuk pengendalian konsumsi tembakau di kalangan masyarakat Indonesia. Meningkatnya penerimaan CHT di kuartal pertama tahun ini membuat pemerintah hendak mengkaji ulang besaran tarif yang akan dikenakan.
Sekadar informasi, Kementerian Keuangan pada akhir tahun lalu memutuskan untuk tidak menaikkan tarif CHT. Sebelumnya, pada pertengahan tahun Kemenkeu juga telah melakukan ekstensifikasi CHT dengan mengenakan tarif cukai sebesar 57 persen untuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Kategori ini meliputi likuid vape.
Pada tiga bulan pertama 2019, realisasi penerimaan cukai melesat jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya (year on year atau yoy). Data Kementerian Keuangan menunjukan, penerimaan cukai pada kuartal pertama 2019 mencapai Rp21,35 triliun, naik 165,1 persen dibandingkan tahun lalu sebesar Rp8,05 triliun.
Kinerja penerimaan cukai selama kuartal pertama tahun ini banyak ditopang oleh penerimaan penerimaan CHT yang melesat di angka 189,14 persen atau Rp20,31 triliun. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto melihat lonjakan penerimaan CHT banyak disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak menaikan tarif CHT dan menunda pelaksanaan simplifikasi CHT.
“Ada kecenderungan pabrikan mengerem produksinya di akhir tahun. Hal ini berbanding terbalik ketika pemerintah menaikan tarif CHT. Biasanya, pabrikan hasil tembakau cenderung untuk menaikan produksi pada akhir tahun. Sehingga, setoran cukai pada penghujung tahun juga berlimpah,” ucap Nirwala.
Jika ditelisik lebih lanjut, sebesar Rp8,80 triliun dari total penerimaan CHT tahun ini merupakan pembayaran cukai 2 minggu akhir Desember 2018, sebagai efek penundaan yang dilakukan pemerintah tahun lalu. Artinya, jika realisasi penerimaan cukai rokok dikurangkan dengan penundaan pembayaran tersebut, pertumbuhan CHT selama kuartal 1/2019 hanya sebesar 65 persen dibanding kuartal pertama tahun sebelumnya.
“Dengan melihat postur penerimaan tersebut, otoritas fiskal tidak akan gegabah untuk menerbitkan suatu kebijakan guna mengontrol produksi tembakau. Bagi pemerintah, setiap kebijakan harus dihitung dengan cermat dan tepat,” ujar Nirmala.
Sebelumnya, sempat menguak wacana untuk menaikkan tarif cukai CHT melalui APBN-P 2019. Nirwala menilai, momentum kenaikan dan nilai kenaikan perlu dipertimbangkan dengan baik. Hal ini demi meminimalisasi dampak buruk misalnya dari aspek pertumbuhan rokok ilegal maupun dari penerimaan cukai.
“Sebenarnya terlalu dini untuk menyimpulkan akan ada kenaikan tarif karena terdapat kenaikan produksi. Adalah benar tingkat pertumbuhan produksi, tetapi apakah itu merupakan tren atau hanya bersifat seasional?,” kata Nirwala.
Pemerintah sendiri menargetkan untuk menekan peredaran rokok ilegal dari 7,04 persen menjadi 3 persen. Sejauh ini, operasi peredaran rokok ilegal berkontribusi pada penerimaan senilai Rp3,21 triliun dari pasar yang tadinya diisi rokok ilegal kemudian diisi dengan rokok legal.
Adapun tren produksi rokok dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Pada 2016 total produksi rokok mencapai 341,7 miliar batang, lalu turun menjadi 336,4 miliar batang pada 2017. Tahun lalu, jumlah produksi rokok juga mengalami penurunan menjadi 332,3 miliar batang.
(Via Bisnis.com)
Comments