Penggiat perlindungan anak dan konsumen mengkritisi keberadaan rokok yang dijual murah dan jauh di bawah harga di banderol cukai yang menempel pada bungkus rokok. Hal ini akan mengancam program perlindungan anak dari paparan konsumsi produk tembakau tersebut.
Merujuk Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, jumlah perokok anak usia 10 tahun-18 tahun naik dari 7,2 persen tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018. Ini berarti 1 dari 11 anak Indonesia merokok.
Direktur Eksekutif Arek Lintang, Yuliati Umrah mengatakan bahwa saat ini anak-anak masih dapat mengakses rokok secara bebas dan terbuka. Padahal seharusnya seperti halnya obat dan alkohol, konsumsi rokok semestinya dikendalikan agar tidak menyasar anak-anak.
“Salah satu faktor pendorong anak dan remaja merokok adalah adanya rokok murah yang dijual dengan harga di bawah banderol di pasaran,” ujarnya.
ALIT menilai terdapat tiga hal yang membuat anak-anak terpapar rokok yaitu harga yang murah, ketersediaan produk, serta tingkat edukasi yang rendah. Harga rokok yang murah dan ketersediaan produk misalnya, muncul akibat pelanggaran terhadap berbagai aturan dan kaidah distribusi, konsumsi, dan pengaturan harga pasar.
Proses ini makin diperparah dengan tingkat edukasi terhadap masyarakat yang belum konsisten.

ANTARA
alah satu faktor pendorong anak dan remaja merokok adalah adanya rokok murah yang dijual dengan harga di bawah banderol di pasaran.
Selama ini, kata Yuliati, pemerintah menaikkan cukai untuk mengendalikan konsumsi rokok. Dengan adanya cukai, harga minimum tercantum di kemasan rokok. Namun pada kenyataannya, di pasaran masih banyak rokok yang didiskon serta dijual jauh di bawah harga pita cukai.
Itulah sebabnya Yuliati berharap pemerintah dapat lebih tegas menjalankan berbagai aturan yang telah dibuat terkait dengan zona penjualan dan distribusi produk. Selain itu dia meminta agar pemerintah serius dalam mengawasi penjualan rokok murah demi menutup akses rokok dari anak-anak.
Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan perlindungan konsumen khususnya anak-anak seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Dia berharap pemerintah secara tegas mengawasi perlindungan anak dari bahaya rokok.
“Jangan mimpi Indonesia bakal punya masa depan emas kalau anak-anaknya tidak dilindungi sehingga jadi pecandu rokok dan penderita penyakit degeneratif lainnya,” tegasnya.
Selama ini, Tulus menilai pemerintah memang menetapkan aturan untuk mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia. Salah satunya adalah dengan penetapan tarif cukai yang tinggi. Namun beberapa bulan lalu juga ada potongan harga atau diskon rokok.
“Ini tidak logis jika kita punya tujuan pengendalian tembakau dan menekan prevalensi perokok di Indonesia. Masih banyak inkonsistensi dalam upaya melindungi anak dari rokok, contohnya hanya di Indonesia rokok dijual ketengan seperti permen,” ujarnya.
(Via Beritasatu)
Comments