Di era modern ini dengan teknologi yang semakin canggih, munculnya disrupsi teknologi menjadi suatu keniscayaan. Hal ini menghasilkan inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, hingga akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.
Disrupsi teknologi juga dapat terlihat dalam industri tembakau. Kehadiran produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik atau vape, membuat produk konvensional seperti kretek dan rokok linting mulai tersubstitusi. Derasnya arus perubahan di era disrupsi merupah pola konsumsi dan kebiasaan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Profesor Antropologi Budaya King Fadh University of Petroleum and Minerals, Sumanto Al Qurtuby dalam acara Bedah Buku karyanya yang bertajuk “Polemik Rokok Konvensional dan Potensi Produk Tembakau Alternatif di Indonesia”, di Jakarta, pekan lalu.
“Segala jenis produk atau jasa akan mengalami pasang-surut. Produk yang tidak bisa menyesuaikan perkembangan zaman akan ditinggali konsumen. Begitupun dengan apa yang terjadi saat ini, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk dipanaskan bukan dibakar (heat not burn atau HNB) mulai menggantikan rokok konvensional,,” papar Sumanto.
Dia mencontohkan, sebelumnya kebiasaan orang untuk mengunyah sirih atau menghisap rokok lintingan sudah ditinggalkan seiring semakin populernya rokok konvensional atau kretek. Kedepannya, rokok konvensional pun berpotensi tergusur dengan rokok elektrik.
Hadirnya rokok alternatif justru baik dalam menyajikan pilihan yang lebih menyehatkan bagi konsumen. Menurut penelitian, tak seperti konvensional yang mengandung tar, zat karsinogenik yang meningkatkan risiko kanker, rokok elektrik bebas dari tar.
Lembaga kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris, Public Health England, dalam risetnya menyatakan, rokok alternatif menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen. “Jadi bukan nikotin yang jadi momok, karena zat itu hanya menyebabkan adiktif. Tapi kandungan tar dan karbon monoksida,” ungkap Sumanto.
Hal senada diucapkan dr. Prijanto Djatmiko Sp.KJ, perwakilan dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan. Menurutnya, rokok alternatif bisa sangat membantu perokok aktif untuk mengurangi atau bahkan berhenti merokok.
“Tentunya, hadirnya rokok alternatif mendorong perokok konvensional beralih sehingga akan memperbaiki kesehatannya,” kata pakar kesehatan jiwa ini.
Sumanto menjelaskan pemerintah perlu menerapkan pendekatan berbeda untuk menurunkan tingkat prevalensi perokok di Indonesia. Salah satunya dengan peraturan tersendiri yang memisahkan produk alternatif dengan tembakau konvensional.
“Produk tembakau alternatif memiliki perbedaan dari rokok konvensional baik dari sisi potensi risiko kesehatan hingga kontribusi bagi negara. Sehingga, penanganan regulasi yang diterapkan pemerintah diharapkan juga berbeda pula. Ini salah satu aspek yang belum terlihat dari aturan dan kebijakan anti rokok di Indonesia,” ujar Sumanto.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah sebenarnya mulai mengambil langkah positif. Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2017, Nomor 66, 67 dan 68 Tahun 2018 tentang Cukai Produk Tembakau Kategori HPTL. Hanya saja, cukai sebesar 57% dinilai masih cukup tinggi, bahkan dibandingkan sigaret putih mesin yang hanya 55%.
“Selama ini berbagai aturan dan program terkait tembakau di Indonesia justru membebani dan lebih banyak bernuansa mengancam atau menakut-nakuti perokok dibandingkan memberikan jalan keluar. Ini juga kontradiktif dengan pendekatan harm reduction yang berhasil di negara maju,” kata Sumanto.
(Via Antaranews, Kontan)
Comments