Para pelaku industri tembakau di Indonesia mulai mewaspadai masuknya rokok elektrik di pasar tanah air. Perlahan tapi pasti, produk tembakau alternatif tersebut mulai membuat kemajuan secara nasional. Hal ini menurut disampaikan oleh analis dari Maybank Kim Eng, Janni Asman dan Isnaputra Iskandar.
“Meskipun kami masih percaya bahwa rokok kretek akan mendominasi industri rokok Indonesia untuk beberapa waktu ke depan, persaingan dari produk rokok elektronik dapat mengurangi bagian mereka dalam beberapa kategori seperti produk mild dan rokok putih yang memiliki harga lebih tinggi,” tulis para analis seperti dilansir Business Times.
“Kami pikir produk sigaret kretek mesin (SKM) biasa akan tetap unggul, terutama merek-merek dengan harga menengah. Harga mereka yang terjangkau membuat mereka memiliki pijakan yang lebih kuat di luar kota-kota besar,” tambah laporan tersebut.
Seperti yang diketahui, pemimpin pasar rokok elektrik di Amerika Serikat, JUUL Labs baru-baru ini telah meluncurkan produk JUUL andalannya di Indonesia. Dalam memasarkan produknya, JUUL Labs bekerja sama dengan dengan perusahaan distributor telekomunikasi PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), dan telah meluncurkan toko-toko khusus di Jakarta dan Bali.
Sementara itu, raksasa perusahaan tembakau Philip Morris yang memiliki mayoritas saham dari PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) juga bisa memainkan produk heat not burn (HNB) andalannya, IQOS. HMSP mulai memperkenalkan produk ini pada Maret lalu, meski masih dalam skala uji coba yang terbatas.
“Meskipun produk vape atau rokok elektrik telah berkembang pesat di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, JUUL tercatat sebagai merek terkenal pertama yang memasuki pasar. Selain itu, tidak seperti produk vape dan JUUL, IQOS memiliki keunggulan di produk tanpa asap yang dipanaskan (HNB),” lanjut analisa tersebut.
Maybank Kim Eng bahkan menurunkan prospek jangka menengah pada industri rokok dari “positif” menjadi “netral”. Para analis memperkirakan bahwa antara 3 hingga 5 persen pasar rokok, terutama segmen kelas atas tengah menghadapi persaingan rokok elektrik lantaran adanya perbedaan biaya yang terbatas.
Produk dengan harga lebih tinggi sudah menghadapi hambatan untuk pertumbuhan penjualan jika perusahaan-perusahaan rokok meneruskan kenaikan biaya dari pajak yang lebih tinggi kepada konsumen. Harga jual rata-rata produk-produk rokok diperkirakan meningkat antara 5 hingga 7 persen antara tahun 2020 dan 2021, lebih cepat dari perkiraan inflasi sebesar 3 persen. Volume penjualan rokok diproyeksikan akan datar untuk tiga tahun ke depan.
Meski demikian, investasi awal alat dan biaya perawatan bisa menjadi penghalang untuk pengambil alihan rokok elektrik, tambah laporan itu. Preferensi konsumen Indonesia untuk rokok kretek juga dapat melindungi sebagian besar industri tembakau dari peralihan ke produk rokok elektronik untuk saat ini.
Industri rokok Indonesia diperkirakan akan memperoleh pendapatan USD 24,1 miliar pada tahun 2019, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,8 persen, menurut konsultan basis data industri Statista. Menurut data dari Kementerian Perindustrian, ekspor rokok pada 2018 mencapai senilai USD 931,6 juta pada tahun 2018. Adapun pajak cukai rokok mencakup hampir semua pendapatan dari cukai secara nasional.
(Via Business Times)
Comments