Pada Kamis (4/7/2019), pasar modal Indonesia kehadiran pendatang baru dari perusahaan rokok yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan melakukan penawaran saham perdananya melalui skema initial public offering (IPO). Ialah PT Indonesian Tobacco Tbk, yang peredarannya sahamnya akan dijual dengan kode ITIC.
Selain ITIC, emiten lainnya yang melantai di bursa pada hari yang sama ialah PT Darmi Bersaudara Tbk yang akan diperdagangkan dengan kode KAYU. Baik ITIC dan KAYU sukses meraup raihan dana masing-masing sebesar Rp 60,02 miliar dan Rp 22,5 miliar. Tambahan dua emiten baru ini menjadikan total 20 perusahaan yang go public pada 2019, hingga berjalannya kuartal III tahun ini.
Secara keseluruhan, terdapat 638 perusahaan publik yang sahamnya tercatat di BEI. Lima diantaranya merupakan emiten yang berbasis perusahaan rokok, yakni PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), Bentoel International Investama Tbk (RMBA), Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), serta ITIC itu sendiri. Dua emiten, HMSP dan RMBA, ialah anak usaha dari Big Tobacco, Philip Morris International (PMI) dan British American Tobacco (BAT).
Dalam pencatatan saham ini, ITIC menawarkan 274,06 juta saham atau setara dengan 29,13 persen dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh. Masa penawaran saham umum berlangsung pada 25 Juni-28 Juni lalu, dimana telah terjadi oversubscribed lebih dari 165 kali.
Direktur Utama ITIC Djonny Saksono mengungkapkan seluruh dana IPO ini akan digunakan untuk membeli daun tembakau Virginia sebagai bahan baku, di mana pembeliannya dibagi berdasarkan segmen wilayah. “Kapasitas pendanaan yang bertambah akan sejalan dengan persediaan daun tembakau yang meningkat,” ujarnya.
Sebanyak 25 persen pembelian persediaan daun tembakau dilakukan di Jawa Tengah meliputi Muntilan, Temanggung, Parakan, dan Boyolali. 50 persen lainnya berasal dari Jawa Timur dan Madura, sisanya dari Bali dan Lombok. Beberapa produk rokok linting dari ITIC antara lain Manna, Kuda Terbang, Roda Terbang, maupun Djago Tarung.
Dalam prospektus perusahaan, skala bisnis perusahaan meliputi Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Nusa Tenggara, maupun Papua. Penjualan terbanyak berada di Papua dengan kontribusi pendapatan sebesar Rp 93,7 miliar pada 2018.
Secara keseluruhan perusahaan berhasil berhasil membukukan pendapatan senilai Rp 134,51 miliar untuk tahun buku 2018. Jumlah tersebut tumbuh 18,65 persen dibandingkan pendapatan pada tahun sebelumnya yang senilai Rp 113,37 miliar. Naiknya pendapatan ini dikontribusi oleh kenaikan penjualan dalam negeri sebesar 20,1 persen atau Rp 25,58 miliar.
Meski baru melantai, Indonesian Tobacco sejatinya bukan pemain baru di industri tembakau. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1955, dan terkenal akan produk tembakau lintingnya. Saat konferensi pers sebelum IPO, Djonny mengungkapkan rokok linting tetap diminati masyarakat Indonesia, meski saat ini sudah ada produk yang lebih maju seperti sigaret kretek mesin (SKM) ataupun rokok elektrik.
Saat ini pasar tembakau Indonesia dikuasai tiga perusahaan, yakni GGRM, HMSP, dan PT Djarum. Pada tahun 2018, GGRM menguasai pangsa pasar rokok nasional sebesar 23,1, sedangkan HMSP menguasai 33 persen pasar nasional. Sementara itu PT Djarum yang dimiliki Keluarga Hartono itu belum mencatatkan sahamnya di BEI, meski perusahaan lainnya yang juga dimiliki Keluarga Hartono, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) telah melantai di bursa.
(Thomas Rizal)
Comments