Pengamat Ekonomi : Kenaikan Cukai Rokok Tak Buat Seseorang Berhenti Merokok

By Vape Magz | News | Jumat, 2 September 2022

Produk dari rokok konvensional (sumber foto : www.pexels.com)

Vapemagz – Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB UB, Candra Fajri Ananda menilai, kebijakan harga rokok dan tarif cukai tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok.

Hasil survei di 4 provinsi dengan 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95% responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.

Hal ini diungkapkan Prof. Candra Fajri Ananda dalam paparan hasil kajian pada Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kenaikan Harga Rokok terhadap Keseimbangan Prioritas Kebijakan IHT di Indonesia”, di Malang, Selasa (30/08/2022).

“Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun ke atas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok,” kata Candra.

Menurut Prof. Candra Fajri Ananda, Pemerintah dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun.

Sejauh ini, data Badan Pusat Statistik (BPS) telah menunjukkan bahwa untuk perokok usia dini, kebijakan tarif ini telah berhasil menekan secara signifikan penurunan prevelansi perokok usia dini sampai 3,81% di tahun 2021. Capaian ini patut diapresiasi dan sejatinya telah sesuai target RPJMN 2019-2024.

“Namun, indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007, hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif,” terang dia.

Guru besar FEB UB yang akrab disapa Prof. Candra ini mengatakan, selama 10 tahun terakhir, kenaikan tarif cukai dan harga rokok terjadi secara signifikan hampir di semua golongan. Misalnya, kenaikan harga rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol.1 mengalami perubahan harga hingga 168%, Sigaret Mesin (SKM & SPM) Gol. 2 mengalami perubahan harga hingga 247%.

“Apabila dilihat berdasarkan golongan, kenaikan tarif cukai tertinggi selama hampir 10 tahun terakhir terjadi di rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM),” imbuhnya.

Hasil kajian PPKE FEB UB juga menyatakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok.

Menurut Prof. Candra, kenaikan harga rokok akan menurunkan volume produksi pabrikan rokok, mulai pabrikan Gol. 1 sampai Gol. 3. Hal ini, lanjut Prof. Candra, berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok illegal.

“Kenaikan harga rokok dan tarif cukai juga menurunkan volume produksi rokok legal dan meningkatkan peredaran rokok ilegal secara signifikan. Kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan HJE meningkat 35% di tahun 2020 (PMK 152/2019) berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minus 9,7%, dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8%,” terang dia.

Data menunjukan, terjadi penurunan jumlah pabrikan rokok. Pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun kini pada tahun 2021 hanya tersisa 1.003 pabrikan rokok. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi. Data Direktorat Bea cukai menunjukkan volume produksi turun sekitar 30 milyar batang dari tahun 2019.

Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Gol.1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada Gol. 1.

Hal itu, kata dia, selaras dengan data Direktorat Jenderal Bea Cukai (2021) yang menunjukkan bahwa penurunan produksi terbesar terjadi di gol. 1 ketika terjadi kenaikan harga rokok di tahun 2020.

Di sisi lain, elastisitas harga rokok pada Gol. 3 menunjukkan hubungan positif, sehingga kenaikan harga rokok mendorong kenaikan volume produksi rokok paling besar di Gol. 3.

“Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah,” terangnya.

PPKE FEB UB juga meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan cukai, mengingat industry hasil tembakau memiliki peran strategis di dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan kontribusinya terhadap penerimaan negara yang mencapai ±13% dari total penerimaan pajak.

Data GAPRRI menunjukkan penyerapan tenaga kerja di sektor IHT sangat tinggi, terdapat sekitar 6 juta orang tenaga kerja di sepanjang rantai pasok yang terdiri dari tenaga kerja langsung di pabrik rokok sekitar 230.920 tenaga kerja, di sektor pertanian tembakau menyerap 1,7 juta petani tembakau dan petani cengkeh, serta sebanyak 2,9 juta pedagang eceran dan lini distribusi.

Posisi strategis IHT ini juga diperkuat dengan IHT sebagai salah satu industri yang asli (heritage) Indonesia yang masih bertahan dan dengan kandungan local conten yang tinggi. Namun, demikian, urgensi eksistensi IHT mendapat tantangan cukup besar dari sisi isu kesehatan, kebijakan tarif, dan peredaran rokok ilegal.

“Pertarungan antar kepentingan tersebut masih akan terus berlangsung secara berkesinambungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah sebagai regulator harus mampu mempertimbangkan berbagai interest group dalam kerangka kedaulatan kepentingan nasional,” pungkasnya.

Comments

Comments are closed.