Di era globalisasi yang serba cepat ini, banyak dari kita yang menginginkan segala sesuatu untuk menjadi instan dan mudah. Adapun perubahan tentunya menjadi satu hal yang sering terjadi seiring berjalannya waktu. Tidak terkecuali perubahan dalam pola hidup manusia, seperti kebiasaan merokok misalnya.
Dengan berbagai alasan, banyak para perokok memilih untuk melakukan peralihan atau bahkan berhenti merokok. Rokok, dengan segala kompleksitasnya mengharuskan para pengguna melakukan berbagai macam hal untuk menikmatinya. Seperti, mengorbankan interior dan komponen mobil pribadi untuk sekadar memenuhi hasrat ingin merokok di tengah perjalanan, keluar ruangan atau bahkan naik turun gedung hanya untuk sebat bagi para pekerja, dan berkeliaran ke sana ke mari untuk meminjam korek api guna menyalakan rokok mereka.
Kejadian-kejadian ini tentulah sangat dekat dengan kita di kehidupan sehari-hari. Namun, sekarang telah ditemukan alternatif-alternatif untuk mengurangi beban yang ditanggung oleh para perokok tadi, salah satunya yaitu vape. Vape atau rokok elektrik dengan segala jenis, rasa dan ukurannya yang unik, hadir untuk membantu para perokok mengurangi kebiasaan merokok yang kerap kali merepotkan mereka. Terlebih saat ini ada salah satu jenis rokok elektrik yang paling praktis dan sedang ‘hits’ digandrungi masyarakat adalah Disposable.
Disposable adalah rokok elektrik yang sudah perangkatnya diisi oleh e-liquid dan tidak dapat diisi ulang. Kepraktisan disposable yang hanya bisa digunakan sekali pakai dan cara kerja yang sederhana tanpa perlu isi ulang baterai memudahkan para vapers pemula bahkan semua kalangan vapers untuk menikmati perangkat tersebut dengan sekali hisapan saja.
Namun kehadirannya yang memudahkan kita semua, ternyata mengundang polemik di kalangan para pelaku industri vape. Perangkat disposable yang didesain khusus untuk penggunaan sekali pakai memberi persoalan kepada produsen vape, terutama produsen lokal yang menjual komponen vape seperti atomizer, coil, baterai, e-liquid dan lain sebagainya.
“Sebenarnya concern utamanya saya dan beberapa teman retailer adalah udah pasti limbah.” Ungkap Firmansyah Siregar owner dari Rumah Tua, atau Awing salah satu pelaku bisnis vape.
Menurutnya, limbah perangkat vape pada umumnya saja telah menghasilkan limbah yang cukup banyak, seperti botol yang lima hari sekali dibuang, cartridge dalam waktu tujuh hari sekali dibuang, dan baterai yang setahun atau dalam waktu dua tahun tetap harus dibuang.
Semua komponen tersebut ada pada disposable yang pemakaiannya hanya bertahan dalam kurang lebih tiga hari. Hal inilah yang menjadi perhatian banyak pelaku bisnis vape, terutama limbah baterai yang harus memiliki penanganan khusus menurut Awing dan kawan-kawan.
Selain perihal limbah, kehadiran disposable disinyalir telah merugikan produsen umkm lokal dan mengancam eksistensi mereka. Terlebih saat ini, banyak orang yang sudah nyaman dengan disposable.
Sebab, vape yang merupakan satu ekosistem tentunya memiliki banyak komponen, dari mulai pengrajin botol, brewer, toko retail dan distributor dikhawatirkan akan hancur dengan kehadiran disposable dari luar negeri di Indonesia. Terlebih belum lama ini banyak ditemukan disposable ilegal yang tidak memiliki cukai.
Palermo Diaz Kanda atau Diaz sebagai pelaku bisnis vape lainnya memiliki concern yang sama dengan Awing, yaitu limbah baterai disposable. Penggunaan disposable yang relatif cepat tentunya akan menghasilkan banyak limbah. Penumpukan limbah baterai inilah yang menyita perhatian para pelaku bisnis vape di Indonesia.
“Limbah baterai ini kan sebenarnya masuk B3, yang tidak asal dibuang di sampah begitu saja. Nah ini yang akan jadi boomerang untuk kita, jika kita tidak berpikir kritis.” ujar Diaz.
Berkaitan dengan hal tersebut, harapan dari para pelaku bisnis vape adalah adanya regulasi yang jelas terkait penjualan disposable dan perubahan sistem dalam ekosistem industri vape yang membedakan antara open dan closed system, serta perihal penjualan closed system dan disposable untuk tidak dijual di vapestore seperti sekarang ini.
Comments