Keberadaan rokok elektrik di tanah air sudah disahkan dengan ditetapkannya cukai untuk likuid vapor, yang termasuk dalam kategori Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Likuid vapor dikenakan cukai sebesar 57 persen, dan aturan ini sudah diperkenalkan pada Juli 2018.
Hanya saja, dalam praktik hukumnya ternyata masih ada aturan yang bisa mengganjal peredaran vape di tanah air. Salah satunya ialah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no 86 tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektrik. Regulasi itu menyatakan bahwa importir baik peralatan maupun cairan vape mesti mendapatkan rekomendasi dari Kemendag, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Masalahnya, hingga saat ini BPOM tidak mengeluarkan izin edar rokok elektrik. Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito menegaskan tidak mengeluarkan izin edar vape atau rokok elektronik karena kandungan zat berbahaya yang terkandung dalam likuid.
Begitu pula dengan Kementerian Kesehatan yang belum merekomendasikan izin produk, lantaran mengacu pada keputusan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) menyatakan bahwa rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional.
Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita mengaku Permendag tersebut dalam status ditangguhkan, tetapi belum dicabut. Situasi itu, ujarnya, menimbulkan kerancuan di antara penegak hukum dengan importir vape.
“Di lapangan kami temukan penegak hukum meminta surat rekomendasi tersebut ke importir-importir kami. Alasannya adalah yang sudah diregulasikan oleh Bea dan Cukai baru untuk likuid saja, sementara devicenya belum,” ujarnya.
Terkait hal ini, Menteri Perdagangan Republik Indonesia Enggartiasto Lukita menyatakan Kementerian Perdagangan telah menerima surat dari Kemenko Perekonomian untuk tidak memberlakukan terlebih dahulu Permendag tersebut. Selain itu Permendag nomor 84 tahun 2017 terkait Ketentuan Impor Tembakau juga statusnya dalam penangguhan. Akibatnya, Kementerian tidak dapat melakukan razia terhadap produk impor tersebut.
“Menko Perekonomian menyebut akan dirapatkan terlebih dahulu. Jadi saya tidak mencabut kedua permendag itu. Jadi sebenarnya vape itu tidak melanggar, tetapi juga tidak diatur. Tunggu saja dari Pak Menko (Darmin Nasution),” ungkap Enggar di sela-sela forum The 16th China-ASEAN Expo (CAEXPO) dan The 16th China-ASEAN Business and Investment Summit (CABIS), Minggu (22/9/2019).
“Bolanya ada di Kemenko Perekonomian. Vape tetap beredar karena kan dipungut cukai. Jadi masih sah,” tambah
Enggar menjelaskan Permendag 84/2017 berisi tentang pembatasan dan persyaratan, karena di dalamnya diatur mengenai syarat memasukkan tembakau, yaitu boleh impor sepanjang tidak ada di Indonesia dan pabrik memang masih mengalami kekurangan pasokan meski sudah mengambil tembakau dari petani. Adapun Permendag 86/2017 mengatur proses masuk dan izin edar vape.
“Aturan ini muncul karena ada keluhan dan kekhawatiran dari petani tembakau di Temanggung. Selain itu, kalo impor vape kan tidak ada yang dipakai tembakaunya, cengkeh sampai kertasnya. Vape bisa masuk kalau sudah ada izin dari Kementerian Kesehatan dan BPOM. Kalau menyangkut kesehatan harusnya ya melalui kedua institusi itu,” jelas Enggar.
Bola panas itu kini bergulir di meja Kementerian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia. Pasalnya, potensi cukai dari vape juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Pemerintah pernah memperkirakan potensi penerimaan cukai HPTL bisa mencapai Rp2-3 triliun.
Hitungannya, potensi penjualan HPTL bagi rokok elektrik di pasaran mencapai Rp5-6 triliun. Dengan pengenaan cukai sebesar 57 persen, potensi penerimaan cukai dari HPTL tersebut bisa berada pada kisaran Rp2-3 triliun.
Comments