Seiring masa pandemi Covid-19 ini, diakui banyak perusahaan rokok mengalami penurunan minat membeli merokok. Dan menurunnya minat membeli rokok ini berefek langsung pada penerimaan pajak rokok.

Rencana kenaikan cukai tahun 2021 juga salah satu upaya pemerintah untuk bisa mendapatkan pendapatan negara tambahan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan No.KEP – 59/PK/2020 tentang Proporsi dan Estimasi Pajak Rokok di Masing-Masing Provinsi Tahun Anggaran 2021, pemerintah memperkirakan penerimaan pajak rokok tahun depan sebanyak Rp 17,03 triliun. Jumlahnya meningkat dari proyeksi pendapatan 2020 sebesar Rp 16,96 triliun.

Hasil alokasi pajak tersebut nantinya akan di masukkan ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), seperti tercantum dalam Pasal 100 Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Bila mengacu pada peraturan tersebut 75 persen dari 50 persen penerimaan pajak rokok harus dialokasikan untuk JKN, artinya terdapat Rp 6,38 triliun yang harus dialokasikan pada 2021.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai bahwa BPJS Kesehatan selaku penyelenggara JKN punya pekerjaan rumah yang besar untuk memastikan pendapatan dari pajak rokok itu. Hal itu dia sampaikan, karena dalam laporan keuangan 2019 BPJS Kesehatan tidak terdapat catatan pendapatan dari alokasi pajak rokok.

AyoSemarang
Tak hanya berefek pada BPJS Kesehatan saja, pajak rokok ini pula mampu menutupi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Kami pun sampai sekarang belum mendapatkan penjelasan kenapa di laporan keuangan bagian pajak rokok itu tanda strip (tidak terdapat nilai pendapatan). Tanda strip kan berarti kewajiban membayar pendapatan pajak rokok tidak dibayarkan kepada BPJS Kesehatan,” kata Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch.

Alokasi pajak rokok bisa dikatakan salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia. Pajak yang didapat dari cukai sangat berpengaruh untuk pemasukan BPJS Kesehatan dan membantu penyelesaian defisit.

(Via Finansial)