Lima Kesimpangsiuran Tentang Vape

By Vape Magz | News | Senin, 5 Desember 2022

Rokok elektrik atau vape saat ini tingkat kepopulerannya semakin meroket di Indonesia. Menurut data yang dilansir Global Adult Tobacco Survey, pada 2021 saja tercatat sudah ada lebih dari enam juta pengguna vape dalam negeri. Seiring dengan pertumbuhannya, kesimpangsiuran informasi seputar vape juga sering muncul di publik. Lalu, apa saja kesalahpahaman vape yang sering terjadi? Berikut ulasannya.

  1. Popcorn Lung

Kasus popcorn lung atau bronchiolitis obliterans merupakan kondisi mengecilnya saluran udara di paru-paru sehingga menyebabkan batuk dan napas pendek. Kesalahpahaman bermula ketika lelaki berusia 17 tahun di Kanada harus dilarikan ke instalasi gawat darurat rumah sakit karena sesak nafas setelah menggunakan rokok elektrik. Sumber berita (NBCnews) menyatakan pria tersebut sempat menggunakan likuid dengan tambahan THC. Penelitian yang dilakukan oleh Yale School of Public Health pada 2020 menyatakan bahwa tuduhan vape sebagai penyebab popcorn lung bisa dikatakan tanpa dasar. Pada penelitian disebutkan bahwa penyebab utama kasus popcorn lung adalah vitamin E asetat yang ditambahkan pada cartridge yang mengandung THC. Sejauh ini, zat tersebut tidak bisa dicampurkan pada likuid vape dan enggan larut dengan nikotin cair. Sehingga selain tidak dianjurkan dan tergolong ilegal, penggunaan juga berisiko tinggi terhadap kesehatan.

  1. Tidak Menyebabkan Gagal Ginjal

​Kasus gagal ginjal akut di Indonesia ditengarai disebabkan oleh cemaran zat etilen glikol (EG) dan politetilen glikol (PEG). Beberapa pihak mengaitkan zat tersebut dengan vape, lalu menyimpulkan vape dapat menyebabkan gagal ginjal. Faktanya, adapun zat pelarut yang digunakan dalam cairan vape adalah propilen glikol (PG), bukan PEG dan EG. Pakar Toksokologi, dr. Shoim Hidayat menjelaskan bahwa potensi vape bisa menyebabkan gagal ginjal sangat kecil.

  1. Risiko Kesehatan

Perbandingan risiko antara vape dan rokok bukanlah perbincangan baru. Banyak penelitian telah dilakukan untuk memberikan bukti bahwa vape tergolong lebih rendah risiko dibandingkan rokok konvensional, seperti penelitian dari Royal College of Physicians London pada 2016 yang menyatakan bahwa sejauh ini vape dinilai punya kandungan yang lebih rendah risiko karena tidak menghasilkan TAR serta tanpa zat kimia yang menyebabkan kanker.

  1. Adiksi Pada Vape

Studi yang dilakukan oleh Research Square LLC pada pengguna vape dan rokok di Amerika Serikat membuktikan bahwa vape memiliki potensi penyalahgunaan lebih rendah daripada rokok konvensional. Tidak hanya itu, penelitian Research Square LLC juga menunjukkan bahwa kemungkinan individu mengalami kecanduan terhadap vape jauh lebih kecil dibandingkan dengan individu yang menggunakan rokok konvensional.

  1. Uap Vape

Mengacu dari penelitian yang dilakukan oleh National Center for Biotechnology Information di Amerika Serikat menjelaskan bahwa hasil emisi vape memiliki kadar bahan kimia yang lebih sedikit ketimbang dengan asap rokok. Emisi asap rokok juga bertahan lebih lama dibandingkan dengan vape (sekitar 20-40 menit), sedangkan aerosol vape akan menghilang dalam kurun waktu kurang dari 2 menit. Sejauh ini menurut National Health Service UK, belum ada bukti kuat bahwa aerosol vape dapat membahayakan orang di sekitar. Sementara itu Ahli toksikologi Universitas Airlangga Surabaga Shoim Hidayat juga membeberkan bahwa kandungan vape lebih rendah risiko ketimbang dengan rokok konvensional. Shoim menjelaskan bahwa kandungan TAR (Total Aerosol Residue) yang biasa ditemukan pada rokok, tidak terdapat dalam vape.

 

Via tribunnews.com

Comments

Comments are closed.