Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Sumatera Barat mendesak Pemerintah Kota Padang memberi ruang untuk iklan rokok.
“Dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 24 Tahun 2012 sudah diatur tentang kawasan tanpa rokok. Namun harus dipastikan mana kawasan yang boleh ada iklan rokok, dan mana yang tidak,” kata Ketua Dewan Pertimbangan P3I Sumbar, Deni Masriyaldi kepada wartawan baru-baru ini.
Deni mengatakan hingga saat ini aturan tersebut tidak jelas. Bahkan menurutnya, Pemkot Padang cenderung melarang iklan rokok di semua kawasan sejak Perda itu efektif dijalankan. Akibatnya, perusahaan rokok jadi enggan untuk beriklan di Padang karena tidak ada kejelasan itu. Dari tahun 2016 hingga sekarang, kata Deni, iklan rokok di Padang hampir dikatakan tidak ada. Dia mengatakan sejak tahun itu juga, hampir tidak ada kegiatan konser yang dilaksanakan di Padang dengan sponsor iklan rokok.
“Sebenarnya mereka mau beriklan, tapi karena tidak jelas ini mereka jadi enggan dan memilih kota lain,” kata Deni.
Menurut Deni, sebenarnya aturan tentang iklan rokok dan kawasan tanpa rokok sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau.
“Harusnya Pemkot Padang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah itu. Sehingga ada kejelasan soal aturan iklan rokok ini,” kata Deni.
Dia mengatakan kawasan tanpa rokok seharusnya bukan melarang iklan rokok. Melainkan kawasan orang dilarang merokok. Dengan demikian perlu kejelasan kawasan mana yang diperbolehkan ada iklan rokok dan mana yang tidak boleh. Tanpa iklan rokok, kata Deni, sejumlah kegiatan besar seperti konser musik jadi jarang ada di Padang. Padahal potensi perputaran uang dari konser musik itu sangat besar.
“Kalau ada kegiatan konser musik itu semuanya hidup. Pajak retribusi, pedagang kaki lima, UMKM, dan masih banyak lagi bergairah karena adanya kegiatan besar itu,” kata Deni.
Soal pendapatan pajak reklame di Padang yang disebut terus meningkat tanpa iklan rokok, Deni menyebut itu angka yang ambigu.
“Dulu nilai pajaknya rendah, sekarang tentu lebih besar. Dulu satu iklan reklame itu Rp 1,2 juta, kalau sekarang Rp 20 juta. Jadi wajar naik dong,” kata Deni.
Deni menyebutkan kalau iklan rokok diperbolehkan maka akan ada penambahan signifikan dari pendapatan pajak reklame di Padang.
“70 persen bisa naik pendapatan pajak reklame. Saya yakin itu,” jelas Deni.
Sementara anggota DPRD Padang Komisi I, Budi Syahrial juga menyorot tentang aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Padang yang belum dipertegas.
“Perdanya kan sudah ada. Sekarang harus dipertegas dengan Peraturan Wali Kota. Perjelas aturan mana kawasan yang tidak boleh ada iklan rokok dan mana yang tidak,” kata Budi.
Kalau ini dipertegas, kata Budi, maka akan ada potensi pemasukan pendapatan asli daerah yang cukup besar dari pajak reklame.
“Potensinya cukup besar bisa Rp 7-10 miliar per tahun. Tapi sekarang itu tidak masuk ke kas Pemkot Padang,” kata Budi.
Budi mengakui sejumlah kegiatan besar seperti konser musik bisa kembali ada di Padang jika iklan rokok bisa masuk.
“Yang berani mensponsori konser musik itu kan mayoritas iklan rokok. Kalau konser ada, perputaran uang di Padang akan banyak,” jelas Budi.
Menurut Budi, Pemkot Padang tidak boleh diskriminasi terhadap pihak yang pro kepada iklan rokok. Pasalnya KTR itu mengatur bukan melarang semua tempat ada iklan rokok.
“Apakah dengan menghentikan iklan rokok, orang berhenti merokok di Padang? Pertumbuhan perokok baru di Padang juga banyak. Jadi rugi kalau tidak diambil pajaknya,” kata Budi.
Via kompas.com
Comments