Perusahaan pengolahan tembakau, PT Indonesian Tobacco optimistis menatap masa depan industri rokok di Indonesia. Meski saat ini terjadi tren peralihan rokok ke rokok elektrik atau vape, untuk jangka panjang vape dinilai belum dapat menggantikan bisnis industri rokok linting di dalam negeri.
“Saya pribadi merasa kurang yakin kalau vape ini jadi tren jangka panjang. Misalnya kita dibilang jangan makan nasi banyak-banyak, kan kalau nggak makan nasi nggak kenyang. Mencari pengganti rokok tidak semudah itu,” kata Direktur Utama Indonesian Tobacco, Djonny Saksono, dalam kegiatan paparan publik perusahaan di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Menurut Djonny, kondisi bisnis rokok di dalam negeri sangat menjanjikan dan tahan banting. Hal tersebut terbukti dengan target pemerintah pada penerimaan cukai yang selalu tercapai setiap tahunnya.
“Kondisi industri rokok Indonesia luar biasa karena setiap tahun pemerintah meningkatkan target baru dari hasil cukai dan tidak ada yang tidak tercapai setiap tahun meskipun terus dinaikan oleh pemerintah. Pasar dan industri rokok akan tetap booming, sehat,” ucapnya.
Sebagai gambaran, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2018 lalu mencapai sekitar Rp153 triliun. Angka ini meningkat sekitar Rp2 triliun dari tahun sebelumnya senilai Rp150,81 triliun. Tahun lalu juga, pemerintah telah menetapkan cukai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) yang diantaranya meliputi likuid vape.
“Jadi entah bea cukai kita yang hebat atau perokok kita yang hebat, target cukai itu pasti selalu tercapai. Kalau kita ingat krisis 98 rupiah dan lainnya anjlok, banyak perusahaan besar ‘masuk RS’, tetapi tidak ada pabrik rokok yang ‘masuk RS’, semua sehat dan eksis. Ekonomi baik, orang merokok, ekonomi susah banyak orang merokok,” kata Djonny menjelaskan.
Sekadar informasi, tren produksi rokok nasional dalam tiga tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Pada 2016 total produksi rokok mencapai 341,7 miliar batang, lalu turun menjadi 336,4 miliar batang pada 2017. Tahun lalu, jumlah produksi rokok juga mengalami penurunan menjadi 332,3 miliar batang.
Tahun ini, Indonesian Tobacco akan melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering atau IPO) maksimal 274.060.000 lembar saham atau 29,13 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh. Produsen tembakau linting dengan merk Kuda Terbang, Pohon Sagu hingga Bunga Sakura ini akan menawarkan saham pada rentang Rp 180 hingga Rp 230 per lembar saham.
Dana segar yang dihimpun dari penawaran perdana ini ditargetkan mencapai Rp49,33 miliar hingga Rp63,03 miliar. Rencananya, perusahaan yang didirikan pada 1955 di Malang, Jawa Timur ini akan menggunakan dana IPO untuk pembelian daun tembakau dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
“100 persen dana IPO untuk naikkan stok bahan baku sejalan dengan naiknya penjualan. Kami akan melakukan penguatan pasar di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, yang akan banyak membutuhkan penanganan di kemudian hari. Tiga area ini punya market yang unik dan potensial. Saat ini kami baru menguasai 10 persen pasar Sumatera dan Kalimantan,” ujar Djonny.
Selain itu, Indonesian Tobacco akan mulai menjajaki pasar ekspor di bulan September atau Oktober. Salah satunya adalah India. Proyeksi pengiriman per bulan diharapkan mencapai 50 ton hingga 100 ton. Pemesanan biasanya lewat kontainer dengan kapasitas 8 hingga 10 ton yang nilainya USD 15.000 per kontainer.
“Jika penjualan di India sudah efektif, penjualan ekspor yang kontribusinya hanya 2-3 persen kemungkinan bisa meningkat hingga 30 persen di tahun depan. Ke depan kami berencana ekspor ke India dan ekspansi ke Tiongkok,” tambahnya.
Saham Indonesian Tobacco rencananya akan dicatatkan perdana di Bursa Efek lndonesia pada 4 Juli 2019. Nantinya, Indonesian Tobacco akan bergabung dengan empat emiten rokok lainnya yang terlebih dahulu melantai di BEI, yakni PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA).
(Via Liputan6, Berita Satu)
Comments