Harga jual rokok di Indonesia termasuk harga jual yang rendah di tingkat Asia bahkan dunia. Tak hanya itu, banyak ditemukan bahwa harga jual rokok di tingkat konsumen bahkan lebih rendah dari harga jual eceran. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang membolehkan Harga Transaksi Pasar (HTP) setara 85 persen dari harga jual eceran (HJE).
Pantauan di lapangan, praktik diskon ini masih lazim dijumpai. Misalnya, rokok Philip Morris Bold isi 12 batang, yang merupakan produk PT HM Sampoerna Tbk, dijual Rp 12.000 per bungkus. Padahal, harga banderolnya seperti yang tertera pada pita cukai adalah Rp 13.440 per bungkus.
Contoh lainnya adalah harga sigaret kretek mesin (SKM) merek MLD. Harga yang tertulis di pita cukai dari produk PT Djarum ini adalah Rp 17.920 per bungkus. Kenyataannya, rokok ini dapat dibeli dengan harga Rp 16.000 per bungkus dengan isi 16 batang. Iklan diskon harga rokok dari produk MLD ini juga terpampang luas di billboard dan toko-toko di berbagai daerah.
Sementara itu, harga GG Move dari PT Gudang Garam Tbk dibanderol Rp 13.450 per bungkus. Di lapangan, rokok jenis sigaret kretek mesin isi 12 batang ini dijual Rp 12.000 per bungkus.
Usut punya usut, lebih murahnya harga rokok di tingkat konsumen ketimbang harga jual eceran yang tertera di pita cukai ini sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156 tahun 2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor Per-37/BC/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

fctcuntukindonesia.org
Harga rokok menjadi salah satu unsur paling penting dalam pengendalian tembakau.
Aturan tersebut membolehkan HTP setara 85 persen dari HJE. Dalam aturan itu, menjual rokok dengan harga di bawah 85 persen banderol pun masih tidak melanggar peraturan asalkan tidak lebih dari 40 kota atau area yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.
Dewan Pakar Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany meminta pemerintah untuk merevisi regulasi yang membolehkan adanya potongan harga jual rokok di pasaran. Pasalnya, regulasi itu bisa meningkatkan konsumsi rokok di masyarakat karena harganya menjadi sangat murah.
“Dibuat lebih rasional dan bermoral. Jangan terkesan akal-akalan. Harganya seolah dinaikkan supaya mahal tetapi boleh jual lebih murah dari harga yang dicantumkan,” kata Hasbullah.
Sementara itu, peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan dari sudut pengendalian rokok, harga merupakan salah satu unsur paling penting. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan telah memuat aturan pelarangan potongan harga produk tembakau atau diskon.
“Tapi dalam praktiknya lebih fokus ke dalam penerimaan negara. Sehingga, lebih ketat kalau harga transaksi pasar di atas HJE,” paparnya. Karena yang penting bagi pemerintah adalah penerimaan negara yang masuk. Mau dijual berapa pun (lebih murahnya) asal tarif cukai dibayar, itu tidak masalah,” ujar Abdillah.
(Via Berita Satu, Detik)
Comments