Disamakan dengan Rokok Konvensional, Penjualan Rokok Elektrik di Kota Bogor Dibatasi

By Vapemagz | News | Kamis, 11 April 2019

Penjualan rokok elektrik atau vape mulai dibatasi di Kota Bogor. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 tahun 2018 pada pasal 1, rokok elektrik atau vape serta shisha masuk dalam kategori rokok sehingga tidak bisa dijual sembarangan. Hal ini mengacu pada peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang diterapkan oleh kota berjuluk Kota Hujan itu.

Pemerintah Kota telah memberikan surat edaran kepada para pengusaha rokok elektrik. Ada tiga aturan yang wajib dipatuhi oleh para pedagang perangkat rokok elektrik. Pertama, pedagang dilarang menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun. Untuk itu, para pedagang perlu memverifikasi usia pembeli dengan bukti identitas diri atau KTP.

Kedua, masyarakat dilarang menerima sponsorship dalam kegiatan apapun dari perusahaan rokok. Terakhir, pedagang dilarang memperlihatkan secara jelas jenis dan produk rokok, tetapi dapat ditunjukkan dengan tanda tulisan “di sini tersedia rokok”. Aturan ini juga berlaku kepada produk rokok alternatif seperti vape dan shisha.

Kepala Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bogor, Erna Nuraena, menjelaskan pembatasan penjualan rokok elektrik saat ini disamakan dengan rokok. Hal tersebut dilakukan karena rokok elektrik memiliki kandungan yang sama dengan rokok seperti nikotin.

“Kami perlu mengatur penjualan rokok elektrik karena rokok elektrik efeknya lebih berbahaya. Masyarakat merasa aman karena baunya yang nyaman, padahal dampak kesehatannya tidak bisa kontrol,” ujar Erna di sela sosialisasi Perda KTR kepada pelaku dan pengusaha vape dan shisa di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor, Selasa, 9 April 2019.

Terkait shisha, Erna menyatakan berdasarkan penelitian ilmiah dari agen antitembakau Prancis, satu hisap shisha setara dengan 70 hisapan rokok biasa. Sementara, kandungan tar dari asap satu shisha sama dengan 27 hingga 102 batang rokok.

Radar Bogor
Perda KTR juga melarang penggunaan rokok elektrik atau vape dan shisha.

Selain aspek kesehatan, pembatasan rokok elektrik juga dilakukan lantaran pengguna rokok elektrik yang usia remaja di Kota Bogor cenderung meningkat. Apalagi banyak kasus penyalahgunaan dengan memasukkan obat ilegal dan narkotika dalam likuid vape yang marak dan sulit dikendalikan.

“Kami bukan melarang, tetapi membatasi agar perokok pemula tidak bertambah. Setelah 10 tahun keberadaan perda, tingkat kepatuhan perda KTR sudah meningkat, tetapi rendah untuk perokok elektrik,” ucap Erna.

Tak hanya membatasi penjualan rokok elektrik, warga Kota Bogor kini juga tidak boleh sembarangan menghisap rokok elektrik. Sesuai perda tersebut, Kota Bogor melarang penggunaan rokok elektrik dan vape di delapan kawasan yang diatur dalam perda.

Kepala Bagian Hukum Kota Bogor, Novy Hasby Munawar, mengatakan, sesuai pasal 7 Perda 10/2018, kawasan tanpa rokok tersebut meliputi tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain atau berkumpulnya anak-anak, dan kendaraan angkutan umum. Selain itu, lingkungan tempat proses belajar mengajar, sarana kesehatan, sarana olahraga, dan tempat lainnya yang ditetapkan salah satunya taman kota.

“Nanti akan ada penegak perda KTR, jika ketahuan melanggar tahapannya pertama bisa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian kegiatan sementara, penghentian kegiatan tetap, penyitaan, hingga denda administratif paling sedikit Rp1 juta,” ucap Hasby.

ANTARA/Dhemas Reviyanto
Pekerja menata botol berisi likuid rokok elektrik (vape)

Penjual Keberatan

Terkait aturan ini, Rahka Maulana Surya dari Vaporista KVL menyayangkan apabila vape yang disamakan dengan rokok konvensional, serta masuk ke dalam Perda KTR. Pasalnya, berbeda dengan rokok konvensional, rokok elektronik tidak menghasilkan asap yang mengandung tar, melainkan hanya uap atas pembakaran kawat, kapas dan likuid.

“Asap vape itu kan uap, harusnya tempat pelarangan jangan disamakan dengan rokok,” ungkapnya. Dirinya juga menilai aturan display penjualan terlalu berlebihan. Sejatinya, para pelaku usaha vape yang tergabung dalam Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) sudah menerapkan aturan dimana hanya boleh menjual produk ke masyarakat berusia minimal 18 tahun.

“Kebutuhan vape dijual tidak sembarangan. Kami yang tergabung dalam APVI menerapkan pemeriksaan identitas jika pembeli masih anak-anak. Hal itu untuk meminimalisir penjualan yang tidak seharusnya. Toko kita kan sudah masuk APVI, jadi lebih ketat penjualannya dan tidak sembarangan karena ada pertanggungjawaban,” ujar Rahka.

Hal senada diucapkan pengguna shisha, Ayu Atmi Octaria. Menurutnya, vape dan shisha jelas berbeda dari rokok konvensional. Bahkan, dari baunya saja sisha dan vape tidak memberikan bau yang menyengat dan tidak enak seperti asap rokok.

“Tiap ruangan di cafe-cafe juga sudah dipisah. Sisha dan vape digabung, sedangkan rokok pisah sendiri. Saya menolak kalau disamakan dalam penentuan tempat,” tegasnya.

(Via Radar Bogor)

Comments

Comments are closed.