Dilematis Tarif Cukai Rokok, Antara Kesehatan dan Pemasukan Negara

By Vape Magz | News | Jumat, 10 September 2021

Rencana pemerintah dalam menaikan tarif cukai rokok menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebagian besar masyarakat menolak tegas rencana tersebut, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor industri tembakau.

Akademisi Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Suko Widodo mengatakan, rokok sebagai hasil olahan tanaman tembakau dalam perkembangan zaman telah menjadi sesuatu yang dilematis.

“Menjadi dilema, karena pada satu sisi mampu meningkatkan penerimaan dana untuk negara melalui cukai, sisi lain dipandang berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia,” kata Suko Widodo dalam Diskusi Panel Nasional yang bertemakan ‘Prospek dan Tantangan pada Masa Pandemi Covid-19 terhadap Produk Industri Hasil Tembakau (IHT) dari Sisi Permintaan-Penawaran dan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau’ dilansir suarasurabaya.net, Jumat (10/9/2021).

Selain itu, terdapat rencana kebijakan untuk meningkatkan nilai cukai rokok sebagaimana tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Salah satu tujuannya untuk menurunkan orang merokok dengan targetnya, tingkat prevalensi merokok terutama untuk anak turun dari 9,1 persen menjadi 8,7 persen di 2024.

Suko Widodo dan Dr. Mohamad Sobari, Budayawan, dalam Diskusi Panel Nasional yang bertemakan “Prospek dan Tantangan pada Masa Pandemi Covid-19 terhadap Produk Industri Hasil Tembakau (IHT) dari Sisi Permintaan-Penawaran dan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau”, Universitas Airlangga. (Foto: Manda Roosa suarasurabaya.net).

Suko Widodo menyebut, kenaikan cukai tiap tahun yang dilakukan oleh pemerintah kerap kali menuai protes dari sejumlah kalangan, termasuk petani tembakau. Pasalnya, kenaikan tarif cukai itu tidak hanya berdampak pada perusahaan industri hasil tembakau (IHT) nasional saja, tetapi juga berdampak pada petani tembakau karena serapan tembakau menjadi berkurang.

Data menunjukkan bahwa akibat kenaikan tarif cukai pada kurun waktu tahun 2015 -2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47 persen. Akibat penurunan produksi rokok, serapan tembakau petani menjadi terpengaruh.

“Nasib petani tembakau selama 10 tahun terakhir kurang diperhatikan oleh pemerintah, malah terkena dampak kenaikan tarif cukai,” tuturnya.

Situasi ini makin diperburuk dengan pandemi Covid-19. Pandemi membuat produktivitas dan penyerapan tembakau menurun. Di tengah kondisi pandemi dan rencana cukai naik, pemerintah seharusnya bisa bersimpati kepada petani tembakau dengan membuat kebijakan yang melindungi mereka.

“Solusi utama atau jalan tengah, pertama, sediakan ruang khusus merokok, konsekuensi dari denda karena larangan merokok; Kedua, kembangkan hasil tembakau untuk fungsi lain selain merokok. Jadi pemerintah tidak asal menaikkan cukai saja. Harus berempati pada kesulitan rakyat, harus memberi solusi. Tidak asal menaikkan cukai dan tidak asal melarang merokok,” tegas Suko Widodo.

Sementara itu, salah satu tokoh budayawan yang hadir dalam diskusi tersebut, Mohamad Sobari menilai tembakau sebagai bagian dari budaya Indonesia dan berkontribusi dalam menopang ekonomi masyarakat.

“Para petani berbicara tentang tembakau sebagai satu-satunya tempat menggantungkan hidupnya, harus  berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak berpihak pada petani tembakau,” tegasnya.

Oleh karena itu kata Sobari, pemerintah perlu untuk melindungi industri tembakau dengan regulasi yang tepat. Apalagi kondisi pandemi seperti sekarang ini pemerintah diharapkan harus berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak menambah beban ekonomi masyarakat.

 

(Via suarasurabaya.net)

Comments

Comments are closed.