Di Indonesia, Penelitian Produk Tembakau Alternatif Masih Minim

By Vape Magz | News | Jumat, 10 Desember 2021

Konsep pengurangan risiko atau harm reduction dalam bidang kesehatan dan lingkungan memang masih menjadi perbincangan global. Namun sayangnya, di Indonesia sendiri, penelitian tentang konsep pengurangan risiko ini masih sangat rendah. Diungkapkan Mantan Direktur Kebijakan Penelitian dan Kerja Sama Badan Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu, konsep pengurangan risiko memang topik yang minim diteliti oleh perguruan tinggi di Indonesia. Padahal, konsep ini menawarkan strategi promosi kesehatan untuk mengurangi konsekuensi berbahaya dari perilaku berisiko. Prof. Tikki memaparkan, konsep pengurangan risiko seringkali dikaitkan dengan isu-isu sensitif seperti pengurangan bahaya tembakau. Misalnya inovasi produk tembakau alternatif (PTA). Berdasarkan bukti ilmiah, PTA ini berpotensi besar membantu menurunkan prevalensi perokok.  Bahkan, PTA memiliki risiko kesehatan lebih rendah 90-95 persen daripada rokok yang dibakar. “Kita lihat di Jepang waktu PTA naik penjualannya, kemudian jumlah rokok yang dijual turun hingga 32 persen. Itu penurunan yang bersejarah,” ungkap Prof Tikki dalam acara webinar ‘Peranan Universitas dalam Mendorong Inovasi dan Mengurangi Risiko Kesehatan dan Lingkungan’.

Selain Jepang, sejumlah negara lain pun mendukung PTA untuk menurunkan prevalensi merokok. Seperti Inggris dan Selandia Baru. Namun, meski sudah diakui di banyak negara maju, harus diakui, masalah tembakau ini sangat sensitif. Sehingga masih memiliki banyak tantangan dan rintangan untuk penelitian. Terlebih persepsi masyarakat dan informasi yang salah serta terbatas soal PTA. Banyak masyarakat yang percaya bahayanya PTA sama dengan rokok yang dibakar. Lalu ada faktor politik dan ekonomi yang memengaruhi kebijakan. Terlebih posisi WHO saat ini anti PTA sehingga bisa memengaruhi kebijakan anggotanya. “Kekurangan penelitian lokal penggunaan PTA bukan hanya aspek medis tapi juga penelitian perilaku dan dampak fiskal dan ekonomi itu masih kurang,” sambungnya. Sehingga jika dilihat lebih jauh, konsep pengurangan risiko tembakau memiliki manfaat yang besar untuk perbaikan kesehatan publik. Kehadiran program Kampus Merdeka diharapkan menghapus batasan yang selama ini menghambat perguruan tinggi untuk meneliti isu-isu sensitif demi menghadirkan solusi bagi permasalahan kesehatan dan lingkungan,” kata Tikki.

Seperti diketahui, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah meluncurkan program Kampus Merdeka sejak tahun 2020. Program ini digagas untuk mendorong perguruan tinggi melakukan riset dan inovasi demi mencapai perubahan yang transformatif di berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan dan lingkungan. Terkait hal tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, mengatakan kondisi pandemi Covid-19 telah memabntu menunjukkan hal-hal yang menjadi prioritas. Diantaranya kebutuhan untuk menghadirkan inovasi yang transformatif dalam dunia riset kesehatan dan lingkungan dengan perspektif pengurangan risiko.

“Sebagai contoh misalnya ada inovasi yang berfokus pada efektivitas daur ulang sampah, pengurangan bahaya tembakau, dan berbagai upaya baru untuk mengedepankan sanitasi dan kesehatan masyarakat,” ungkap Nadiem dalam acara webinar ‘Peranan Universitas dalam Mendorong Inovasi dan Mengurangi Risiko Kesehatan dan Lingkungan’.

Penelitian di Perguruan Tinggi

Sementara itu, Kepala Laboratorium Pengujian Kaliberasi dan Sertifikasi serta Dosen Kimia IPB, Mohammmad Khotib mengatakan, kampusnya telah menjalankan program Kampus Merdeka dengan melakukan penelitian inovatif terhadap produk tembakau yang dipanaskan. Penelitian terhadap produk tembakau alternatif ini untuk membuktikan kebenaran PTA yang telah menerapkan konsep pengurangan risiko. Hasil dari penelitian awal tersebut menunjukkan fakta bahwa produk tembakau yang dipanaskan secara signifikan mengurangi rerata 80-90 persen dari senyawa berbahaya seperti Nitrogen Dioksida (N02), Sulfur Dioksida (S02), dan Reactive Oxygen Species (ROS) dibandingkan dengan rokok. “Kami akan terus melanjutkan studi ini dengan harapan mendapatkan lebih banyak lagi temuan sehingga nantinya data yang dihasilkan lebih komprehensif,” ujar Khotib.

(Via Jawapos.com)

Comments

Comments are closed.