Cukai dan Tembakau, Bagaimana Nasib Petani Tembakau?

By Vape Magz | News | Jumat, 14 Januari 2022

Mulai 1 Januari 2022 tarif cukai hasil tembakau yang baru mulai berlaku. Selain bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, cukai juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dan buruh industri rokok. Selama ini, beberapa pihak selalu menjadikan petani tembakau sebagai alasan dalam menolak kebijakan pengendalian tembakau yang ketat, seperti kenaikan tarif cukai, pelarangan/pembatasan iklan dan sponsor rokok, hingga ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Padahal, umumnya, petani tembakau tidak paham dengan aturan pengendalian tembakau yang, mungkin untuk mereka, rumit. Yang ada di benak mereka adalah bagaimana caranya agar hasil panennya dihargai layak oleh pabrik rokok. Selain itu, realitanya, sering kali nasib petani dan kebijakan pengendalian tembakau adalah dua hal yang tak terkait langsung.

Dalam diskusi di Kedai Kopi Benem, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, 8 Desember 2021, petani tembakau dari Temanggung Muhamad Nur Ajib mengatakan, dirinya sudah terlalu sering menceritakan masalah yang dihadapi petani tembakau yang, notabene, itu-itu saja. Kondisi cuaca yang tak bersahabat dan tata niaga yang tidak adil. Namun, sampai sekarang pun belum ada perubahan signifikan yang mendongkrak nasib petani.

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) sebagai organisasi petani tembakau juga dinilai Ajib belum sepenuhnya memperjuangkan nasib petani tembakau. ”Pas harga dari pabrik murah, enggak ada gerakan masif untuk, misalnya, menentang atau mengajak petani menahan tembakaunya untuk tidak dijual kepada pabrik. Kalau gerakan mengajak menanam tembakau sih iya, ada,” kata Ajib.

Ajib menceritakan, di antara pengurus APTI pun sebenarnya terjadi perbedaan. Mereka yang dekat dengan pabrik bisa memiliki kartu tanda anggota (KTA) sehingga bisa menjual langsung ke pabrik tanpa perantara tengkulak. Tapi, ada juga Ketua APTI tingkat kecamatan yang puluhan keranjang tembakaunya hanya dihargai Rp 35.000 per kilogram maksimal.

Bahkan, tambah Ajib, ada pula petani yang tiga bulan lebih belum menerima uang pembayaran penjualan tembakaunya. Mereka dijanjikan akan dibayar pada Januari 2022 ini dengan harga jual Rp 27.500 per kilogram. ”Menyakitkan, ngenes, Pak. Pemerintah harus campur tanganlah,” ujar Ajib.

Tuhar, Ketua (APTI) Kecamatan Kledung, Temanggung, mengakui bahwa ketika harga daun tembakau jatuh, APTI belum berperan maksimal menaikkan posisi tawar petani. Namun, perlu diketahui juga bahwa APTI tidak memiliki kewenangan menentukan harga jual karena harga jual ditentukan oleh pembeli.

”Yang punya barang harusnya yang punya daya tawar. Ini tidak. APTI hanya mediator saja soal harga,” ujarnya.

Rokok merupakan barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif. Untuk itu, rokok dikenai pungutan cukai. Dana cukai yang berhasil dihimpun kemudian didistribusikan kepada daerah.

Selain untuk mengendalikan konsumsi rokok, melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dana cukai rokok yang dihimpun juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tembakau.

Untuk tahun 2022, Kementerian Keuangan telah menaikkan rata-rata tarif cukai hasil tembakau sebesar 12 persen. ”Hari ini, Bapak Presiden telah menyetujui dan sesudah rapat koordinasi di bawah Bapak Menko Perekonomian, kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12 persen. Tapi, untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), Presiden meminta kenaikan 5 persen, jadi kita menetapkan 4,5 persen maksimum,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pernyataannya saat mengumumkan tarif cukai hasil tembakau, Senin (13/12/2021).

Kenaikan tersebut lebih tinggi daripada kenaikan cukai hasil tembakau pada periode 2016-2018 yang berturut-turut sebesar 11,19 persen; 10,54 persen; dan 10,04 persen. Pada 2019, tarif cukai rokok tidak dinaikkan. Namun, kenaikan tarif cukai rokok mencapai 23 persen pada 2020, kemudian 12,5 persen pada 2021.

Sri Mulyani juga menyatakan bahwa kenaikan ini tidak hanya mempertimbangkan isu kesehatan, tetapi juga memperhatikan perlindungan buruh, petani, dan industri rokok. Seperti diketahui, pada 2020, minimal 50 persen DBHCHT dialokasikan untuk sektor kesehatan dan untuk sisanya daerah memiliki kebebasan dalam menggunakannya. Sejak 2021, alokasi DBHCHT berubah menjadi 25 persen untuk kesehatan, 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, dan 25 persen untuk penegakan hukum. Alokasi penggunaan DBHCHT tahun 2022 pun masih sama dengan 2021. Secara spesifik, untuk petani tembakau, DBHCHT dialokasikan untuk peningkatan kualitas bahan baku, iuran jaminan produksi, subsidi harga, serta batuan bibit, benih, pupuh, sarana dan prasarana produksi. Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, mengatakan, DBHCT merupakan bagian dari transfer ke daerah penghasil tembakau dan penghasil cukai dan tembakau. Rincian pemanfaatannya diatur dalam Surat Edaran Kementerian Pertanian Nomor 13/LB.030/E/01/2020. Hendratmojo mengatakan, 15 persen dari 50 persen alokasi DBHCHT untuk kesejahteraan masyarakat diperuntukkan bagi peningkatan kualitas bahan baku. Sementara porsi 35 persen sisanya diatur oleh pemerintah daerah, bisa untuk bantuan langsung tunai, asuransi, atau subsidi harga.

Nasib petani

Akan tetapi, aturan hitam di atas putih itu tidak seindah terdengarnya. Yamidi, petani tembakau dari Temanggung, mengatakan, belum tentu petani tembakau setiap tahun menikmati DBHCHT. Hanya sebagian kecil saja porsi dana bagi hasil itu yang menetes ke petani.

Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia (FPMI) Istanto menyampaikan, tidak setiap tahun kelompok tani menikmati DBHCHT yang sudah dikirim ke pemerintah daerah. Kalaupun dana bagi hasil turun sebagai bantuan sarana produksi, jumlahnya tidak sesuai kebutuhan. Petani tembakau, misalnya, mendapat bantuan pupuk 1.500 kilogram. Padahal, satu hektar tanaman tembakau butuh 450 kilogram pupuk dan setiap kelompok tani mempunyai kurang lebih 20 hektar lahan tembakau.

Menurut Istanto, ketika musim panen dan harga tembakau anjlok, DBHCHT juga seharusnya bisa menjadi dana talangan bagi petani. Dengan begitu, kerugian yang ditanggung petani tidak begitu besar.

Selain itu, DBHCHT juga seharusnya bisa dipakai kelompok tani untuk menjalin kerja sama dengan pabrik rokok sehingga rantai tata niaga melalui petani-pengepul kecil-pengepul besar-grader-perwakilan pabrik yang merugikan petani bisa dipangkas. Dana bagi hasil bisa menjadi daya tawar petani.

”Kalau penggunaan DBHCHCT seperti sekarang, tidak mungkin petani akan sejahtera,” kata Istanto.

Tuhar mengutarakan, petani tembakau bisa saja melakukan diversifikasi komoditas tanam dengan menanam sayuran atau bahkan kopi. Tapi tidak semua lahan cocok ditanami sayur terutama di lahan kering. Untuk itu, jika didistribusikan untuk kepentingan petani, DBHCHT bisa dipakai untuk membuat embung yang bisa menyuplai kebutuhan air bagi lahan petani. Istanto menambahkan, pemerintah juga seharusnya mengerem impor tembakau ketika petani tembakau panen sehingga daun tembakau dalam negeri bisa diserap pabrik rokok. Petani tembakau dari Nusa Tenggara Barat, Jopi Hendrayani, berpendapat, selama ini DBHCHT sulit diakses oleh petani tembakau. Hanya petani yang dekat dengan pemerintah daerah saja yang bisa mengaksesnya. Sosialisasi penggunaan DBHCHT juga dinilai kurang. Jopi juga tidak keberatan tarif cukai rokok terus dinaikkan, lagipula petani tidak merasakan langsung efek langsungnya. Namun, setiap kali cukai naik pabrik rokok akan menekan harga jual tembakau sehingga petani dirugikan. Jopi menyarankan agar petani dilibatkan dalam proses alokasi pemanfaatan DBHCHT agar tepat sasaran. Dana tersebut bisa dipakai untuk biaya produksi tanam tembakau, asuransi kesehatan, atau biaya alih tanam petani tembakau. Terkait sosialisasi berjenjang DBHCHT dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga ke petani tembakau yang tersendat, Hendratmojo mengatakan akan memperbaikinya.

Ekonomi tembakau

Gumilang Aryo Sahadewo, Asisten Profesor di Departemen Ilmu Ekonomo Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kolega dalam Ekonomika Pertanian Tembakau di Indonesia, Gelombang Ketiga Survei Petani Tembakau menggambarkan bagaimana kontribusi pertanian tembakau terhadap petaninya. Studi itu menunjukkan, usaha tani tembakau biasanya hanya memberikan kontribusi kecil terhadap pengasilan rumah tangga pada umumnya. Bagi lebih dari 85 persen petani tembakau, usaha tani tembakau hanya memberikan kontribusi kurang dari separuh pendapatan mereka di tahun produksi yang buruk pada Gelombang 1 (tahun 2016). Bahkan, di tahun-tahun yang lebih baik (tahun 2017 dan 2019), 70 dan 79 persen petani tembakau yang masih memperoleh kurang dari separuh pendapatan mereka dari budidaya tambakau. Pada tahun 2016, petani non-tembakau konsisten mendapat keuntungan antarwaktu sementara petani tembakau merugi. Diketahui juga, biaya pertanian tembakau per hektar lebih tinggi dari biaya pertanian nontembakau. Selain itu, petani tembakau juga mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih besar.

Penelitian Whedy Prasetyo (2017) di Jurnal Ekonomi dan Bisnis Volume 20 No.1 2017 memperlihatkan paradoks ganda petani tembakau. Pada hulu petani menghadapi berbagai masalah penentuan biaya produksi yang tinggi dan risiko kesehatan akibat proses penanaman tembakau. Sementara di hilir mereka juga menghadapi timpangnya tata niaga yang meniadakan standar harga dan kepastian usaha serta perubahan iklim dan anomali cuaca. Peningkatan produksi dan konsumsi rokok serta keuntungan berlipat yang dinikmati industri rokok ternyata tidak diikuti peningkatan kesejahteraan petani tembakau. Dalam Studi Kualitatif Kehidupan Petani Tembakau di Kabupaten Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal di Tengah Upaya Pengendalian Konsumsi Rokok, Suci Puspita Ratih dkk dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia memberikan sejumlah rekomendasi untuk menyejahterakan petani tembakau. Tata niaga tembakau perlu dievaluasi dan diperbaiki, impor tembakau dikendalikan, pengolahan tembakau menjadi produk selain rokok, dan alih tanam harus dilakukan. Selain itu, DBHCHT harus betul-betul dialokasikan untuk petani agar mereka lebih berdaya.

 

(Via kompas.com)

Comments

Comments are closed.