BPOM: Rokok Elektronik Miliki Potensi Bahaya Sama Dengan Rokok Konvensional

By Vapemagz | News | Senin, 18 Maret 2019

Perdebatan terkait keamanan rokok elektronik atau biasa disebut memang selalu menjadi topik yang hangat untuk dibincangkan. Meski beberapa riset menemukan bahwa vape adalah produk tembakau alternatif yang paling aman, Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia masih menolak hasil riset tersebut. Padahal pemerintah sendiri telah melegalisasi keberadaan vape melalui cukai untuk likuid vape.

Staf fungsional Sub Direktorat Pengawasan Produk Tembakau BPOM Iswandi menyatakan kandungan nikotin di dalam rokok elektrik inilah yang disebut memiliki dampak negatif bagi kesehatan. Menurutnya, hampir 90 persen vape mengandung nikotin. Dirinya pun menilai vape yang tidak mengandung nikotin masih memiliki potensi berbahaya bagi kesehatan.

“Kalau tak mengandung nikotin, perlu dilihat juga, zat apa yang ditambahkan,” kata Iswandi dalam diskusi bertajuk “Polemik Rokok Elektronik atau Vape di Indonesia” oleh Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

Berdasarkan kajian BPOM, rokok elektronik berpotensi memicu penyakit yang sama dengan rokok biasa karena kadar timbal dan kromium uap rokok elektronik sama dengan rokok biasa. Sementara itu, kadar nikelnya lebih tinggi 100 kali jika dibandingkan rokok biasa.

Iswandi menjelaskan sebanyak 98 negara dunia telah mengatur peredaran dan penggunaan rokok elektronik lebih lanjut. Sebanyak 29 negara melarang penjualan rokok elektronik, termasuk Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand. Sebanyak 36 negara menetapkan usia minimum pembelian dan 45 negara mengizinkan penjualan dengan persyaratan izin edar.

Selanjutnya, 62 negara melarang atau mengatur iklan promosi dan sponsor rokok elektronik dan 38 negara mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan pada kemasannya. Adapun, 32 negara mengatur konsentrasi nikotin, 34 negara mewajibkan produsen/importir melapor produknya ke instansi berwenang, dan 51 negara melarang/membatasi penggunaan rokok elektronik di tempat umum.

Yola Sastra/Kompas
Staf Subdirektorat Pengawasan Produk Tembakau Badan Pengawas Obat dan Makanan, Iswandi.

“Kalau rekomendasi BPOM ke pemerintah sampai saat ini masih sama. Rokok elektronik mesti dilarang. Manfaatnya tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan,” kata Iswandi. Dirinya pun meningatkan bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga tidak menganjurkan rokok elektronik untuk berhenti merokok, melainkan terapi seditan tempel kulit (patch), permen karet (gum), semprot hidung (nasal spray), inhaler dan tablet hisap (lozenges).

Sementara itu, Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim mengatakan, peredaran dan penggunaan rokok elektronik perlu dikendalikan untuk melindungi hak atas kesehatan warga negara, terutama generasi muda. Saat ini, rokok elektronik sangat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk anak di bawah umur.

“Kami melihat rokok elektronik tidak jauh beda dengan rokok biasa. Oleh sebab itu, kekosongan hukum terkait rokok elektronik ini mesti segera diisi,” kata Ifdhal. Hal ini diamini oleh penasihat senior Human Rights Wath Group, Rafendi Djamin.

Dirinya menilai penggunaan rokok elektrik sudah menjadi gaya hidup dan bisa menjadi jebakan bagi generasi muda. Generasi ini dinilai gampang tergiur dengan rokok elektronik karena kemasannya yang menarik, cairannya tersedia atas berbagai rasa.

“Mereka terjebak anggapan bahwa rokok elektronik tidak berbahaya bagi kesehatan. Kondisi ini memprihatinkan. Oleh sebab itu, regulasi diperlukan untuk mengatasi persoalan ini,” kata Rafendi.

(Via Kompas.id)

Comments

Comments are closed.