Bos Sampoerna: Perokok Indonesia Suka Rokok dengan Kadar Tar Tinggi

By Vapemagz | News | Jumat, 10 Mei 2019

Meski tar menjadi salah satu zat paling berbahaya yang terkandung dari sisa pembakaran rokok, para perokok Indonesia nampaknya masih belum terlalu memikirkan risiko tersebut. Hal ini nampak dari pergeseran konsumen yang cenderung memilih rokok dengan kadar tar tinggi (high tar) asalkan harga terjangkau.

Presiden Direktur PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), Mindaugas Trumpaitis mengatakan industri tembakau saat ini telah bergeser ke jenis produk dengan harga yang lebih rendah. Pada tahun 2018, perusahaan menaikkan harga jual produk-produknya karena adanya kebijakan cukai yang tahun lalu naik sebesar 11 persen secara rata-rata tertimbang.

“Industri tembakau menunjukkan adanya tren konsumen yang bergeser ke produk dengan harga murah. Segmen rokok low tar (kadar tar rendah) memang masih tinggi, tapi segmen high tar (kadar tar tinggi) mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dan mengambil alih konsumen low tar,” kata Mindaugas kepada VapeMagz Indonesia usai acara paparan publik di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Berdasarkan data yang dipaparkan perusahaan, segmen industri Sigaret Kretek Mesin High Tar (SKM HT) memang memiliki pertumbuhan yang signifikan dalam lima tahun terakhir. Pangsa pasar SKM HT pada kuartal pertama 2019 ini diperkirakan sebesar 40,2 persen dari keseluruhan industri rokok. Angka ini menggeser pangsa pasar Sigaret Kretek Mesin Low Tar (SKM LT) yang kini menguasai 37,7 persen industri.

Guna menjaga pangsa pasar yang sudah ada saat ini dan tetap menjaga volume penjualan, HMSP mendiversifikasi produk dan merilis produk high tar dengan harga terjangkau. Salah satunya dengan meluncurkan Philip Morris Bold pada kuartal pertama 2019 ini. Produk yang mengandung 28 miligram tar dan 1,9 miligram nikotin ini dipasarkan dengan harga Rp12.000 sebungkus untuk 12 batang.

“Kami juga meningkatkan penjualan untuk pasar ekspor, seperti membuka pasar baru ke Jepang. Saat ini kami telah menggenapkan negara tujuan penjualan ekspor menjadi 40 negara,” kata Mindaugas menambahkan.

dok. Paparan Publik PT HM Sampoerna Tbk (HMSP)
Penurunan industri mulai melambat. SKM menjadi segmen dengan pertumbuhan paling pesat. (ZAL)

Sebenarnya, perusahaan induk dari Sampoerna, Philip Morris International juga memiliki produk tembakau alternatif yakni IQOS. Berbeda dengan rokok konvensional yang menggunakan tembakau yang dibakar, IQOS menggunakan aerosol yang dipanaskan. Produk heat not burn (HNB) itu tidak mengandung tar dan diklaim lebih aman dari rokok konvensional.

Mindaugas mengakui, bahwa HMSP saat ini tengah melakukan uji pasar di dalam negeri untuk produk HNB tersebut. HMSP mulai memperkenalkan produk ini pada Maret lalu, meski masih dalam skala uji coba yang terbatas.

“Di Maret tahun ini kami mulai memperkenalkan IQOS untuk melihat perilaku konsumen. Apakah mereka menyukai mentol, low impact atau lainnya. Jadi kami masih dalam tahap pembelajaran. Hasil pengujian ini yang akan memutuskan apakah produk ini akan dirilis atau tidak,” ucap Mindaugas.

Sebelumnya, IQOS sudah dipasarkan di lebih dari 40 negara, termasuk Asia, Australia, Selandia Baru, Uni Eropa, Eropa Timur, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin serta Kanada. Mulai Mei ini, IQOS juga sudah masuk pasar Amerika Serikat, setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration atau FDA) mengeluarkan izin penjualan IQOS di pasar AS.

“Kami menyambut baik keputusan FDA ini. PMI selalu berkomitmen untuk berinovasi dalam menghasilkan produk-produk yang kurang berisiko untuk kesehatan. Kedepannya, kami siap melakukan pendekatan serupa untuk BPOM di negara lain, termasuk di Indonesia,” ujar Mindaugas yang pernah menjabat sebagai CEO Philip Morris Meksiko, Baltik, dan Kanada itu.

(Thomas Rizal/VapeMagz Indonesia)

Comments

Comments are closed.