Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) menolak anggapan bahwa rokok elektronik atau vape menjadi biang keladi kematian beberapa pengguna di Amerika Serikat. Sebelumnya diberitakan di beberapa media dalam beberapa hari terakhir, setidaknya ada enam orang di Amerika Serikat telah meninggal akibat penyakit paru-paru yang diduga setelah mengisap vape. Terakhir ialah seorang perempuan berusia 50 tahun ke atas menjadi korban keenam akibat vape.
Ketua Penasihat AVI, Dimasz Jeremiah, mengatakan meski para korban meninggal termasuk ratusan lainnya yang dirawat mengaku menggunakan vape sebelum kesehatannya terganggu, kematian tersebut tidak berhubungan dengan vape itu sendiri. Jika ditelusuri, sebenarnya yang menyebabkan kematian para korban itu ialah penggunaan ganja ilegal sebagai cairan vape yang diisap.
“Persamaan terbesarnya antara korban yang sampai ratusan itu bukan di vapenya, melainkan pada ganja ilegal yang berminyak atau oil based itu yang mereka isap. Jadi bukan di vapenya. Ini kayak epidemi gitu kemarin. Terjadi pada beberapa ratus orang di kelompok umur yang kira-kira sama yakni anak muda dan mereka juga selain terbukti vaping juga terbukti menghisap ganja ilegal,” kata Dimasz seperti dilansir dari Antara, Sabtu (15/9/2019)..
Menurut Dimasz, di Amerika Serikat saat ini ada sekitar 11 juta pengguna vape. Hanya ada beberapa ratus yang dekat dan tersangkut benda ilegal yakni ganja yang dicairkan tersebut. Dimasz sendiri mengaku tidak mengetahui bagaimana proses distribusi dan seperti apa penggunaan ganja ilegal tersebut di Amerika, namun dia menduga barang terkategori narkotika tersebut dijual dengan bentuk siap pakai.

(Marisa Djemat)
Dimasz (kanan) berpendapat bahwa vape merupakan solusi alternatif terbaik saat ini bagi para perokok yang belum sepenuhnya dapat menghentikan kebiasaan merokok, dengan tujuan terakhir untuk berhenti merokok sepenuhnya.
“Sepertinya itu dijual dengan bentuk isi ulang vape yang sudah siap pakai,” katanya. Dimasz menegaskan vape sendiri tidak berbahaya bagi pemakai dan lingkungan sekitarnya karena hasil pembakaran yang dihasilkan bukanlah asap seperti rokok konvensional, namun uap air. Asap dari rokok sendiri selama ini dianggap sebagai zat yang paling berbahaya, lantaran mengandung tar.
“Karena itu vape tidak butuh filter karena yang dilakukan pembakaran bukanlah partikel keras, dan hasilnya adalah uap air, seperti Nebulizer (alat terapi asma) yang dihasilkan adalah uap. Itu sebenarnya cara mereka (korban) pakai,” katanya.
Ketua AVI yang kini berusia 46 tahun itu membagikan pengalamannya saat beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Menurutnya selepas memakai vape selama tujuh tahun terakhir, kesehatannya semakin meningkat yang dilihatnya berdasarkan premi asuransi yang lebih murah.
“Saya dulu merokok tujuh bungkus sehari, sejak tujuh tahun lalu saya beralih ke vape. Kini saya menggunakan likuid vape yang ada nikotin 12 mg yang habis dua mililiter sehari. Efeknya asuransi saya tujuh tahun lalu lebih mahal dari tahun ini karena risiko saya lebih turun saat dicek kesehatan wajib oleh pihak asuransi, inilah efeknya bagi saya,” ucap Dimasz.
(Via Antaranews)
Comments