Aturan Ketat Paksa Industri Rokok Elektrik China Pangkas 10 Persen Tenaga Kerja

By Vapemagz | News | Sabtu, 21 Desember 2019

Industri rokok elektrik atau vape di China dikabarkan telah memberhentikan sekitar 50.000 orang sejak Oktober, sekitar 10 persen dari tenaga kerjanya. Angka tersebut merupakan perkiraan asosiasi perdagangan, yang juga menunjukkan adanya penurunan produksi lantaran peraturan yang diperketat di Amerika Serikat dan China.

Ao Weinuo, sekretaris Komite Industri Rokok Elektronik (Electronic Cigarette Industry Committee atau ECIC) kepada Reuters, Jumat (20/12) mengatakan pengawasan media atas vaping di Amerika Serikat, pasar rokok elektrik terbesar, juga telah menyebabkan permintaan berkurang ketika China melarang penjualan produk vape secara online.

Pabrik-pabrik di kota Shenzhen, China Selatan, tempat sekitar 90 persen rokok elektronik dunia dibuat oleh 500.000 tenaga kerja, terpaksa memangkas hingga 10 persen tenaga kerjanya, yang turut membuat perlambatan tingkat produksi.

Beberapa produk China yang berusaha mengikuti produk rokok elektrik JUUL dari Amerika Serikat kini dibebani dengan kelebihan persediaan. Ketua Asosiasi Ou Junbiao, pendiri perusahaan pembuat rokok elektrik Sigilei, awal bulan ini mengatakan kepada outlet media China Venture bahwa perusahaannya telah memotong setengah jumlah karyawan dari sekitar 1.000 orang.

REUTERS/Stringer
International eCig Expo (IECIE) di Shenzhen, Guangdong, China 14 April 2019.

Seorang pekerja Shenzhen mengatakan kepada Reuters bahwa Teslacigs menangguhkan perekrutan, padahal sebelumnya perusahaan berniat melipatgandakan jumlah karyawannya yang berjumlah 400 orang. Pekerja lain di sebuah pabrik yang terdiri dari 300 pekerja mengatakan pesanan telah turun hingga 30 persen, dan manajemen akan mempertimbangkan PHK jika lingkungan regulasi tidak membaik tahun depan.

“Kami banyak yang stres,” kata karyawan itu.

Leo Chan, seorang investor di perusahaan modal ventura Autobot yang meneliti industri rokok elektrik di China, mengatakan beberapa pembuat mencoba untuk menggeser persediaan berlebih dengan membuka toko offline, tetapi tingginya tingkat persaingan membuat mereka kewalahan menangani oversuply itu.

Seorang manajer dari merek yang diluncurkan tahun ini mengatakan penjualan turun 60 persen setelah penjualan online dilarang pada bulan November.

“Kami menginvestasikan banyak modal ke penjualan online sebagai inti dari strategi peluncuran kami. Aturan baru segera mengacaukan jalan kita,” kata manajer, yang menolak disebutkan namanya karena sensitivitas masalah ini.

(Via Reuters)

Comments

Comments are closed.