Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tetap memprioritaskan pembahasan Standar Nasional (SNI) produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti vape dan rokok putih.
Saat ini Kemenperin lebih memilih untuk memprioritaskan pembahasan SNI untuk produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product atau HTP), mengingat pembasahan SNI untuk HTP dinilai lebih mudah dibandingkan produk HTPL lainnya.
Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Aryo Andrianto menyatakan, pihaknya telah mengajukan usulan agar pemerintah bisa segera membahas SNI untuk produk HTPL secara keseluruhan, termasuk untuk vape dan rokok putih. Menurut Aryo, pihaknya sudah beberapa kali diundang Kemenperin untuk membahas hal tersebut. Hasilnya SNI untuk HTP akan dibahas lebih dulu di tahun 2020 ini.
“Memang akhirnya diputuskan SNI untuk HTP dulu yang dibahas. Karena waktu terbatas, efektif cuman tinggal 4 bulan (di 2020), meski sebenarnya yang kita ajukan inginnya semuanya,” kata Aryo dalam keterangan tertulisnya kepada Vapemagz Indonesia.
Menurut pandang dia, pembahasan SNI untuk HTP lebih didahulukan lantaran diklaim lebih sederhana. Produknya masih sedikit, dan pelaku bisnisnya adalah perusahaan-perusahaan besar. Dia memberi contoh Philip Morris dengan brand IQOS serta pemain besar lainnya yakni British American Tobacco (BAT).
Perusahaan-perusahaan besar tersebut, katanya, juga memiliki macam aneka produk termasuk juga menjalankan bisnis rokok putih. “Dengan harapan dapat mempermudah untuk menyusun SNI bagi produk-produk yang lainnya. Mungkin jadi bisa sekalian,” sebut Aryo.
Meski begitu, produk tembakau yang dipanaskan itu sejatinya masih pada taraf uji pasar sehingga belum dikonsumsi dalam jumlah besar. “Contoh iQos sendiri mereka baru masuk dan masih test pasar. Untuk yang lainnya lagi persiapan untuk masuk tahun ini,” imbuh Aryo.
Lebih lanjut, dia membandingkan dengan produk yang sudah ada dan populer lebih dulu, seperti Vape. Menurutnya, produk vape sudah sangat beragam dan pebisnisnya sangat banyak, 95 persen bahkan merupakan pelaku usaha kelas kecil dan menengah atau skala UMKM. Dengan produk dan pebisnis yang begitu banyak, penyusunan standar tak akan mudah dilakukan.
Menurut Aryo, sebuah standarisasi perlu disepakati oleh suara terbanyak dari pebisnis di industri tersebut agar kesepakatan bisa diimplementasikan secara riil. “Kita harus mewakilkan semua brand-nya, Kita inginnya regulasi bisa dijalankan semua pelaku industri. Percuma kita buat standarisasi yang ikut misalnya cuman 10% atau 20 persen atau cuma sebagian kecil,” sambung Aryo.
Dalam suatu industri yang baru, kata dia, adanya regulasi dan standarisasi sangat dibutuhkan. Hal itu penting agar ada kejelasan baik untuk standar produk maupun pengadaan bahan termasuk untuk urusan impor. “Pasti lah semua industri baru yang masih ingin regulasi yang jelas, tidak abu-abu. Jadi kita dorong pemerintah untuk segera membuatnya. Masalah impor, masalah standarisasi, segala macam,” pungkas Aryo.
(Siaran Pers)
Comments