Di antara sekian banyak persoalan yang berawal dari pandemi Covid-19, salah satu masalah yang terpenting adalah kebangkitan gerakan anti vaksin.
Teori konspirasi, argumen konyol, dan tuduhan tak berdasar telah menjadi acuan baru pada salah satu tren anti sains yang destruktif yang pernah kita dengar.
“Apa yang awalnya merupakan gerakan anti vaksin, sekarang berubah menjadi gerakan anti sains sepenuhnya,” kata ahli virologi, Peter Hotez dikutip The New Yorker, Rabu (22/9/2021).

ribuan orang melakukan demo anti vaksin di London. (Foto: Anadolu Agency/Getty)
Berkaitan dengan hal di atas, merupakan satu hal yang sangat mengkhawatirkan jika menemukan persamaan yang kuat antara gerakan anti vaksin dan gerakan anti vaping. Mengapa? Karena kedua hal tersebut adalah cara yang berfungsi untuk menyelamatkan jutaan nyawa.
Dengan cara yang sama, sebuah artikel yang baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah menyatakan bahwa “perkiraan paling konservatif menunjukkan bahwa dengan beralih ke vaping dan menggantikan sebagian besar rokok selama 10 tahun ke depan, maka akan menghindari kematian dini pada 1,6 juta orang di Amerika Serikat”.
Seperti yang bisa kita lihat, akan menjadi kesalahan yang sangat serius untuk membiarkan orang-orang hanyut dalam kekeliruan soal vaksin dan vaping. Berikut ini ada tiga poin yang penulis terangkan soal persamaan narasi antara orang-orang yang anti vaksin dengan orang-orang yang anti vaping, yaitu:
1. Kandungan Zat
Salah satu argumen anti vaksin yang paling utama adalah bahwa vaksin mengandung zat berbahaya seperti formaldehida atau aluminium. Meskipun benar bahwa ada jejak dua zat tadi dalam vaksin, namun keduanya dapat diabaikan dan tidak dapat menyebabkan kerusakan apa pun.
Menariknya, vaping juga dituding mengandung zat berbahaya seperti formalin. Namun, pada tahun 2018 sebuah studi yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC, Amerika Serikat) menunjukkan bahwa kadar formaldehida yang ditemukan dalam uap rokok elektrik tidak berdampak signifikan bagi kesehatan kita.
Mitos dan kebohongan tentang kandungan zat adalah dasar dari kampanye anti vaping, seperti narasi tentang nikotin tetap menjadi binatang buas yang paling ditakutkan. Namun, Public Health England membantah narasi tersebut, di mana dijelaskan:
“Empat dari 10 perokok dan mantan perokok salah mengira bahwa nikotin sebagai penyebab sebagian besar kanker yang berhubungan dengan merokok, padahal bukti menunjukkan nikotin dalam rokok sebenarnya mempunyai risiko yang minim bahaya bagi kesehatan. Meskipun nikotin adalah alasan orang menjadi kecanduan merokok, namun bahan kimia lain yang terkandung dalam asap rokoklah yang menyebabkan hampir semua penyakit yang berkaitan dengan merokok.”

Foto: kunr.org
2.Risiko kematian yang aneh
Di sekitar vaksin Covid 19, desas-desus yang beredar di jejaring sosial adalah tentang kemungkinan “kematian yang tinggi” akibat vaksin. Menurut ahli teori konspirasi, sementara virus corona menyebabkan kematian yang sangat sedikit, tingkat kematian karena vaksin akan jauh lebih tinggi.
Dengan cara yang sangat mirip, para kritikus vape menggunakan narasi soal ledakan vape yang patut diwaspadai, yang mengakibatkan kematian dari hal itu.
Namun, sumber seperti The Vaping Today memberikan penjelasan yang jauh lebih rasional dan memadai, seperti pada argument di bawah ini:
“Cerita tentang alat penguap yang meledak seolah-olah berlangsung tanpa akhir. Padahal tidak ada bukti bahwa mod atau vape meledak lebih sering ketimbang produk elektronik konsumen bertenaga baterai lainnya. Tetapi karena vaping tidak terlalu populer di kalangan masyarakat yang tidak merokok dan tidak menggunakan vape, vaping menjadi sasaran empuk bagi pemberitaan dan penyebaran hoax di media sosial.”
3. Penyakit “eksotis”
Berkaitan dengan vaksin Covid-19, muncul mitos tentang potensi bahaya atau penyakit yang akan ditimbulkan oleh vaksin tersebut. Orang-orang yang anti vaksin bahkan tidak tersipu saat mengatakan bahwa vaksin Pfizer dan Moderna akan bertanggung jawab perihal “mengubah DNA seseorang”.
Pada saat yang sama, muncul dugaan yang mengaitkan penggunaan rokok elektrik atau vaping denga infeksi paru-paru atau biasa dikenal dengan sebutan’evali’.
Setelah kampanye misinformasi dan ketakutan yang berlebih, beberapa negara bagian di Amerika Serikat memutuskan untuk melarang sebagian besar rokok elektrik. Selain itu, Food and Drugs Administration (FDA) meningkatkan pengawasan regulasi terhadap alat penguap dan rokok elektrik lainnya.
Namun, seperti yang dijelaskan Jeff Stier, “ternyata tidak satu pun dari rokok elektrik ini yang bertanggung jawab atas penyakit evali. Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Pusat Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control) untuk mengakui bahwa cedera paru-paru tidak disebabkan oleh rokok elektrik seperti Juul misalnya,”
(via austriancenter.com)
Comments