Walau Lebih Aman dari Rokok, Vape Masih Perlu Diregulasi untuk Menjamin Mutu dan Standar Produk

By Vapemagz | Lifestyle | Senin, 3 Agustus 2020

Pemanfaatan produk tembakau alternatif bisa turut membantu para perokok yang ingin berhenti merokok. Sekitar 1,1 milyar perokok dewasa di dunia memiliki akses pada produk alternatif yang lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok konvensional, seperti vape (rokok elektrik), snus, nikotin pouches, dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product atau HTP).

Di Indonesia sendiri, meskipun produk Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) sudah tersedia, belum ada kerangka regulasi yang komprehensif dalam mengatur produk-produk tersebut. Dalam hal likuid vape misalnya, Mantan Direktur Kebijakan Penelitian dan Kooperasi WHO, Tikki Pangestu menilai diperlukan regulasi untuk mengatur kandungan likuid demi keamanan dan kesehatan para pengguna.

“Diperlukan regulasi untuk menjaga mutu dan standard of quality and safety. Termasuk jumlah nikotin dan kandungan apa yang ada dalam cairan itu,” ucap Tikki dalam diskusi virtual bertajuk “Apa yang Dikatakan Peneliti Tentang Alternatif Merokok?” pada akhir pekan lalu.

Tikki juga membantah bahwa vape layak disalahkan terkait penyakit paru-paru yang disebut EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use Associated Lung Injury). Seperti yang diketahui, pada tahun 2019 lalu muncul wabah penyakit paru-paru misterius yang menimpa para pengguna vape di Amerika Serikat. Hal ini memunculkan ketakutan terhadap risiko kesehatan penggunaan rokok elektrik.

“Tidak, terus terang saya tidak setuju dengan interpretasi bahwa vaping menyebabkan penyakit paru-paru EVALI. Penyelidikan ilmiah telah mengungkapkan bahwa it is not the vaping, tapi apa yang di vape,” ucap Tikki.

“Jadi salahnya bukan pada vaping, tetapi penggunaan cairan yang terkontaminasi oleh beberapa bahan yang dibeli di black market. Seperti tetrahydrocannabinol (THC) dan vitamin E Asetat. Untuk itu regulasi yang mengatur kandungan pada cairan dan standar produk diperlukan dalam pemanfaatan produk tembalakau alternatif,” tambah Tikki.

Istimewa
Mantan Direktur Kebijakan Penelitian dan Kooperasi WHO, Tikki Pangestu.

Hal senada diucapkan oleh Chair of Advisary Board, Centre of Health Law, Policy and Ethics University of Ottawa, David Sweanor. Dirinya mengambil contoh Swedia yang telah berhasil menekan prevalensi merokok sampai hanya sekitar 5 persen, berkat penggunaan produk tembakau alternaitf. Begitu pula dengan Islandia yang prevalensi merokoknya sekitar 1,5 persen.

“Kita memiliki kemampuan untuk membuat perbedaan, dengan menggunakan teknologi untuk mengurangi prevalensi merokok dengan produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik. Dengan tanpa proses pembakaran, vaping sekitar 95 persen lebih aman ketimbang rokok konvensional,” ucap David.

Sementara itu, Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Nasional (Kemenristek/BRIN), Ali Ghufron Mukti mengatakan regulasi yang diciptakan perlu berdasarkn kajian dan penelitian yang komprehensif. Sayangnya, saat ini penelitian terkait manfaat produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokok masih sangat terbatas.

“Penelitian vape di Indonesia ini masih sangat terbatas bahkan hampir tidak ada. Kalau yang soal NRT (nicotine replacement therapy) memang masih ada, tapi terkait ENDS dan vape masih sulit untuk dicari,” ucap Ali.

Untuk itu Kemenristek terus mendorong penelitian yang berguna untuk masyarakat luas. Diperlukan pula penelitian untuk mendorong pemanfaatan tembakau untuk produk lainnya.

“Contohnya pemanfaatan daun tembakau supaya tidak hanya dimanfaatkan nikotinnya saja, tapi juga bisa dibuat multivitamin yang dibutuhkan untuk tubuh,” ucapnya.

(Lihat Video)

Comments

Comments are closed.