Sama-Sama Kiblat Dunia Barat, Vaping Diperlakukan Berbeda di Inggris dan AS

By Vapemagz | Lifestyle | Rabu, 18 September 2019

Inggris (United Kingdom atau UK) dan Amerika Serikat (AS) ialah dua negara maju yang bisa dianggap sebagai kiblat dunia Barat. Soal bahasa misalnya, meski dua-duanya sama-sama menjadikan English sebagai mother tongue, tapi British English dan American English tetap dianggap berbeda.

Tak hanya soal budaya, teknologi dan tren, gaya hidup masyarakat kedua negara ini kerap diikuti masyarakat negara lainnya, termasuk Indonesia. Dalam hal perlakuan terhadap rokok elektrik, kedua negara tersebut juga memiliki pandangannya masing-masing.

Di Inggris, penggunaan personal vaporizer atau vape sebagai produk tembakau alternatif menjadi salah satu metode yang dianjurkan otoritas setempat, sebagai solusi untuk berhenti merokok. Bahkan penelitian yang dilakukan Public Health England (PHE) menemukan bahwa vaping 95 persen lebih aman ketimbang produk konvensional. Kampanye switch to vape pun digalakkan oleh Departemen Kesehatan setempat, National Health Service (NHS).

Lain halnya di Amerika Serikat. Meski salah satu produk rokok elektrik terkemuka, JUUL berasal dari AS, perlakuan berbeda justru diberlakukan di Negeri Paman Sam. Badan Pengawas Obat dan Makanan setempat, US Food and Drug Administration (FDA) justru menilai vaping sebagai epidemi yang harus diberantas. Begitu pula presiden AS, Donald Trump, yang baru-baru ini menyatakan vaping sebagai kebiasaan berbahaya.

Evan Vucci/AP/Shutterstock
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyatakan vaping sebagai kebiasaan yang berbahaya.

Lantas apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan perlakuan terhadap vaping antar dua kiblat dunia barat tersebut? Menurut Bonnie Halpern-Felsher, Profesor Pediatri di Divisi Kedokteran Remaja Stanford Medicine ialah mazhab terkait vape yang menjadi dasar utama pembeda perlakuan vaping di UK dan AS. Di UK vape ialah produk pengganti dan bukan produk inisiasi. Sementara di AS, vape justru dianggap sebagai produk rokok masa depan.

“Di Inggris, pertama-tama, mereka tidak mengizinkan iklan dengan cara yang sama sehingga anda tidak menemukan pemasaran yang menjurus orang-orang muda. Iklan luar ruangan seperti di bus misalnya, memang diizinkan tetapi perusahaan rokok elektrik tidak memiliki izin untuk beriklan di media sosial dan TV atau radio,” ujar Halpern-Felsher.

Secara sederhana, dapat diartikan pemasaran vape di Inggris ialah sebagai produk pengganti yang lebih aman dari rokok untuk perokok dewasa. Sementara di Amerika Serikat, pemasaran yang dilakukan seperti oleh JUUL misalnya, justru disinyalir menyasar kaum muda sebagai target konsumen baru.

Di Amerika Serikat, lebih dari seperempat siswa sekolah menengah (sekitar 25 persen atau satu dari empat siswa) adalah pengguna rokok elektrik, menurut angka awal dari Survei National Youth Tobacco 2019 yang dirilis pekan lalu. Sementara di Inggris, data PHE mengungkapkan hanya 3,3 persen anak usia 11 hingga 18 tahun yang mengaku menggunakan rokok elektrik kurang dari seminggu sekali, dan 1,6 persen yang menggunakannya setidaknya setiap minggu.

Selain itu, aturan mengenai peredaran produk juga berbeda antara Inggris dan AS. Regulasi Uni Eropa (UE) melalui Arahan Produk Tembakau yang mulai berlaku pada tahun 2016, menetapkan aturan tentang pembuatan, presentasi, dan penjualan rokok elektrik di negara-negara anggota.

woodcreekvapory.com
Vaping diberlakukan berbeda antara Inggris dan Amerika Serikat. (ZAL)

Hal ini meliputi pembatasan pelabelan, pengemasan, dan iklan. Peraturan UE juga membatasi kadar nikotin yang terkandung dalam likuid rokok elektrik tidak lebih dari 20mg/ml. Sebaliknya, di AS beberapa JUULpod justru mengandung 59 mg/ml, yang membuat efek dari zat adiktif tersebut menjadi lebih kuat.

“JUULpod 5 persen nikotin mengandung jumlah nikotin yang ditemukan dalam dua bungkus rokok, satu setengah hingga dua bungkus. Di Inggris, hal tersebut tidak diiznkan,” kata Halpern-Felsher.

Jika di Amerika Serikat beberapa negara bagian telah melarang peredaran vape, di Inggris vape justru diatur melalui regulasi yang ketat. Dan Marchant, pemilik dan pendiri Vape Club di Inggris dan anggota pendiri Asosiasi Industri Vaping Inggris, memperingatkan bahwa pelarangan produk dapat “menciptakan pasar gelap”.

“Kita tahu pelarangan tidak akan berhasil, melainkan regulasi yang akan berhasil. Dari perspektif Inggris, kami memiliki pasar yang diatur dengan ketat. Penyakit atau kematian yang diberitakan muncul akibat vape tidak benar-benar berkorelasi dengan bahan-bahan dalam likuid yang diproduksi secara profesional,” ujar Marchant.

Hal senada diucapkan Profesor Linda Bauld, profesor kesehatan masyarakat di Universitas Edinburgh. Menurutnya, akan menjadi kesalahan bagi Amerika Serikat untuk melarang produk rokok elektrik beraroma, meski produk itu ialah produk yang amat menarik perhatian banyak remaja AS.

“Kebijakan pelarangan yang diusulkan melupakan fakta bahwa rasa adalah bagian penting dari daya tarik bagi peralihan perokok dewasa yang mencoba berhenti merokok. Di Eropa, rokok elektrik beraroma telah berkontribusi terhadap penurunan perokok dewasa dan uji coba terkontrol secara acak yang dilakukan dengan baik menunjukkan bahwa produk ini memang membantu orang berhenti,” ujarnya.

nhs.uk/smokefree
Inggris justru menjadikan rokok elektrik sebagai solusi terbaik alternatif untuk berhenti merokok.

Menurut laporan Euromonitor, sekitar 35 juta orang di seluruh dunia diyakini menggunakan rokok elektrik atau produk heat not burn (HNB). Beberapa dari mereka ialah kalangan perokok yang mencoba menghentikan kebiasaan buruk merokok, dan menggantinya dengan produk yang bebas tar seperti rokok elektrik. Meski demikian, kekhawatiran muncul lantaran rokok elektrik mereka menciptakan kecanduan nikotin baru, terutama di kalangan kaum muda.

Pemerintah di seluruh dunia pun terbagi mengenai perlakuannya terhadap vaping. Menurut laporan Global State of Tobacco Harm Reduction, 39 negara telah melarang penjualan rokok elektrik atau likuid nikotin. Norwegia melarang penjualan rokok elektrik yang mengandung nikotin, seperti halnya Australia. Larangan juga diberlakukan di Thailand dan Singapura. Di bawah undang-undang yang diusulkan di Hong Kong, vapers bahkan dapat dipenjara.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pilih kiblat Inggris atau Amerika Serikat? Yang pasti status vape di Indonesia telah diakui keberadaannya oleh pemerintah dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah resmi mengenakan cukai atas likuid vape selaku hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) sebesar 57 persen mulai 1 Juli 2018 lalu.

(Thomas Rizal/Via CNN.com)

Comments

Comments are closed.