Perlu Ketegasan Kepala Daerah untuk Lindungi Warganya dari Rokok

By Vapemagz | Lifestyle | Kamis, 24 Januari 2019

Terus meningkatnya prevalensi rokok di Indonesia setiap tahunnya, mengindikasikan bahwa Indonesia tengah mengalami kondisi yang bisa disebut “darurat rokok”. Menurut data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, sejak tahun 1995, angka prevalensi rokok di Indonesia mengalami peningkatkan mencapai 27%. Angka ini terus bertambah hingga menjadi 36,3% di tahun 2013.

Koordinator Program Nasional Indonesia Institute for Social Development (IISD) dr Soedibyo Markus menilai merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari paparan bahaya rokok. Untuk itu, dirinya meminta para kepala daerah untuk membuat aturan yang mampu melindungi warganya dari ancaman bahaya zat adiktif dari produk tembakau.

“Sembari menunggu penguatan aturan pengendalian tembakau di tingkat nasional, kepala daerah seperti bupati atau wali kota sebagai wakil negara yang bersentuhan langsung dengan rakyat harus mengupayakan perlindungan terhadap bahaya zat adiktif produk tembakau,” kata Soedibyo.

Sebagai administrator pembangunan di daerah, kepala daerah memiliki kewenangan dan peran penting dalam pengendalian produk tembakau yang merupakan zat adiktif. Kepala daerah berwenang dan berperan dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok (KTR) secara total, pengendalian iklan rokok luar griya, serta berbagai upaya perlindungan bagi generasi muda dari ancaman bahaya zat adiktif produk tembakau.

“Kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) merupakan instrumen kebijakan yang sangat penting sebagai upaya perlindungan kesehatan masyarakat. Karena itu, kebijakan kawasan tanpa rokok harus dilakukan secara total,” katanya.

depok.go.id
Kepala daerah berwenang dan berperan dalam mewujudkan kawasan tanpa rokok (KTR) secara total.

Mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, perokok pemula usia 10 tahun hingga 18 tahun mengalami peningkatan prevalensi dari 7,2 persen di tahun 2013, menjadi menjadi 9,1 persen di 2018. Soedibyo menilai, peningkatan itu sesuai dengan upaya industri rokok yang menjadikan generasi muda sebagai sasaran utama, menggantikan perokok usia tua.

“Industri rokok menyasar generasi muda melalui iklan, promosi dan sponsor yang diarahkan khusus kepada mereka dengan tema petualangan, keberanian mengambil risiko, kesetiakawanan, kreativitas dan lain-lain,” kata Soedibyo.

Data Kementerian Kesehatan pada 2013 menyatakan kerugian pandemi rokok mencapai Rp378,7 triliun, dihitung dari produktivitas yang hilang, biaya belanja rokok dan biaya penyakit akibat rokok. Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI), Sumarjati Arjoso menilai pemerintah tidak tegas mengatur iklan, promosi dan sponsor rokok meskipun sudah banyak aturan yang menyentuh hal itu.

“Ini kesalahan kita semua, termasuk pemerintah dan DPR. Akibat paparan iklan rokok, prevalensi perokok anak meningkat. Angka prevalensi perokok kita jauh dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional 2019 yang menargetkan penurunan prevalensi merokok menjadi 5,4 persen,” ujar Sumarjati.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Medik Keperawatan RS Kanker Dharmais Nina Kemala Sari menyatakan peran negara diperlukan untuk mengurangi konsumsi rokok. Dirinya mencontohkan Singapura yang berhasil menekan konsumsi rokok, dan akhirnya berhasil mengurangi angka penderita kanker.

“Singapura berhasil menurunkan angka kejadian kanker paru dengan meningkatkan usia boleh merokok dari 18 tahun menjadi 21 tahun baru boleh merokok. Itu signifikan angka penurunan kanker parunya,” kata Nina.

(Via Antara)

Comments

Comments are closed.