Penyalahgunaan Rokok Elektrik Biaskan Maksud Positif dari Vape

By Vapemagz | Lifestyle | Kamis, 16 Mei 2019

Dalam bahasa hukum, maksud yang baik harus dilaksanakan pula dengan cara yang benar pula. Jika tidak, maka ada potensi penyalahgunaan yang berujung dengan pelanggaran. Hal ini sepertinya menjadi gambaran yang tepat, untuk menggambarkan tren penggunaan rokok elektrik atau vape yang meningkat akhir-akhir ini.

Sejatinya, rokok elektrik diciptakan untuk menghadirkan produk tembakau alternatif selain rokok konvensional seperti kretek atau cerutu. Sebagai inovasi teknologi, rokok elektrik diklaim lebih aman lantaran tidak menggunakan tembakau yang dibakar, melainkan likuid yang dipanaskan. Dengan demikian, rokok elektrik tidak menghasilkan tar, zat hasil pembakaran rokok yang mengandung senyawa kanker atau karsinogen.

Hanya saja, maksud awal rokok elektrik yang baik, nyatanya kerap digunakan untuk cara-cara yang tidak benar pula. Salah satunya adalah dengan menggunakan likuid yang sudah dioplos dengan cairan ganja atau ganja sintetis (cannabidiol/CBD). Hal ini yang menjadi kekhwatiran dari dr. Adhi Wibowo Nurhidayat, SpKJ(K), MPH dari Institute of Mental Health, Addiction, and Neuroscience (IMAN).

“Rokok elektronik bisa menjadi alat untuk konsumsi beragam jenis narkoba. Untuk itu penggunaan rokok elektronik untuk mengurangi kecanduan rokok perlu dipertimbangkan,” ujar dr. Adhi dalam konferensi pers bertemakan “Rokok Elektronik: Ancaman atau Solusi”, Selasa (15/5/2019).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Blundell dkk, dikutip dari QJM: An International Journal of Medicine tahun 2018, dari 861 responden yang diteliti, 39,5 persennya menggunakan rokok elektronik untuk konsumsi narkoba, baik itu narkoba tradisional (ganja, kokain, heroin) maupun narkoba jenis baru (ganja sintetis, katinona sintetis).

Meski bebas dari tar, likuid dari rokok elektrik umumnya mengandung nikotin. Meski beberapa likuid juga terdapat yang bebas nikotin. Anggapan bahwa nikotin adalah zat yang tidak berbahaya tidak sepenuhnya tepat. Nikotin sendiri adalah zat adiktif yang membuat pengguna rokok elektrik ketagihan terhadap nikotin cair yang ada di dalamnya.

“Berdasarkan suatu penelitian, pengaruh rokok elektronik pada organ otak bisa bervariasi. Bila seorang ibu yang mengandung terpapar asap rokok elektronik, hal ini akan mengganggu perkembangan kognitif dan perilaku janin yang di kandungnya. Sementara, kandungan nikotin di dalam rokok elektronik juga mengarah pada adiksi jangka panjang pada perokok pemula usia remaja,” kata dr. Adhi menjelaskan.

Shutterstock
Rokok elektrik kerap disalahgunakan oleh anak remaja. (ZAL)

Efek yang membuat ketagihan ini juga yang membuat seharusnya produk ini jauh dari jangkauan anak di bawah umur. Faktanya, tren penggunaan vape di kalangan remaja meningkat pesat, baik itu secara global maupun di Indonesia itu sendiri.

Laporan dari US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkap bahwa selama periode 2017-2018, penggunaan rokok elektrik meningkat 77,8 persen di antara anak SMA dan 48,5 persen di kalangan anak SMP. Di Polandia misalnya, dari seluruh remaja pengguna rokok elektrik yang diteliti, 72,4 persennya ternyata merupakan dual user (mengonsumsi rokok elektrik sekaligus rokok konvensional).

Hal serupa juga ditemukan di Indonesia. Menurut studi UHAMKA terhadap remaja SMA, angka sebaran (prevalensi) pengguna vape dalam riset tersebut mencapai 11,9 persen atau 1 dari 8 siswa. Siswa pengguna rokok elektrik di Jakarta, 51 persennya adalah dual user atau yang menggunakan rokok elektrik dan konvensional.

Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Wahyuni Indawati SpA, mengungkap tren perokok muda di Tanah Air cenderung meningkat. Wahyuni menyebut, kondisi ini berbahaya bagi anak yang jadi generasi penerus Indonesia. Terlebih, anak-anak mudah dipengaruhi dan belum memiliki kemampuan menentukan keputusan seperti orang dewasa.

“Padahal itu merupakan pintu masuk untuk menjadi kebiasaan. Ini menjadi kepedulian kami dari praktisi kesehatan,” katanya.

Sementara itu, dr Vinka Imelda dari Yayasan Kanker Indonesia menilai meski tidak menghasilkan asap seperti rokok konvensional, rokok elektrik juga tak sepenuhnya aman. Sejumlah penelitian menunjukkan uap rokok elektronik mengandung nikotin dan bahan karsinogen yang mampun menyebabkan kanker, seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid dan bahan toksik lain.

“Jadi tidak lebih aman dari rokok tembakau. Karena selain mengandung nikotin yang menyebabkan adiksi atau ketagihan, uap rokok elektronik juga mengandung bahan karsinogen lain yang justru tidak ada pada rokok tembakau,” kata Vilda.

Zat-zat tadi, kata Vilda, mampu merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel. Belum lagi adanya senyawa perasa makanan, seperti vanillin dan cinnamaldehyde yang juga dapat merusak sel-sel organ tubuh, termasuk paru-paru, dan rokok elektronik menjadi beracun.

(Via Viva.co.id, CNN.com)

Comments

Comments are closed.