Rektor Universitas Sahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. H. Kholil, M.Kom mendukung penerapan konsep pengurangan bahaya tembakau dengan memberikan pilihan kepada perokok untuk beralih ke produk tembakau yang memiliki risiko kesehatan jauh lebih rendah seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik.
“Jika dilihat dari karakteristik dan perilakunya, upaya untuk mengatasi masalah rokok di Indonesia harus dilakukan berbagai pendekatan (pendekatan holistik) secara budaya, kesehatan, ekonomi, regulasi dan komunikasi,” kata Prof. Kholil dalam kolomnya di Kompas.com, Sabtu (6/6/2020).
Menurutnya upaya mengatasi permasalahan merokok harus melibatkan semua pemangku kepentingan terkait. Mulai dari pemerintah, masyarakat, praktisi kesehatan, akademisi, pelaku industri dan juga para perokok itu sendiri.
Saat ini, berbagai negara sudah mengadopsi konsep pengurangan bahaya tembakau untuk melengkapi pendekatan lainnya yang sudah diterapkan. Sebagai contoh, Selandia Baru telah menerapkan konsep pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi jumlah perokok dan mencapai program “New Zealand Smoke Free 2025”.
Selain itu, Inggris melalui Public Health England (PHE) mendorong perokok Inggris yang sulit berhenti merokok untuk beralih ke produk alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan. Hal ini merupakan upaya mengurangi risiko kesehatan penggunanya maupun mengurangi dampak negatif pada lingkungan sekitar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, PHE menyimpulkan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko daripada merokok. PHE juga mempromosikan rokok elektrik sebagai alat yang efektif untuk membantu menghentikan kebiasaan merokok.
Adapun Jepang telah mengalami penurunan besar dalam jumlah perokok, bersamaan dengan semakin banyaknya perokok yang beralih ke konsumsi produk tembakau yang dipanaskan. Konsep pengurangan bahaya tembakau merupakan upaya untuk mengurangi dampak berbahaya yang disebabkan oleh rokok.
“Konsep ini meliputi berbagai macam strategi dan upaya mengganti produk atau perilaku berisiko tinggi dengan yang lebih rendah risiko. Konsep pengurangan bahaya tembakau dan peralihan perokok ke produk tembakau alternatif berperan penting dalam mempercepat proses pengendalian tembakau,” ucap Prof. Kholil.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian di Amerika Serikat bertajuk “Potential Deaths Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarette” yang dilakukan oleh Levy dan tim. Sekitar 6,6 juta orang perokok Amerika dapat terhindar dari kematian dini jika perokok beralih ke rokok elektrik.
“Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah berhenti merokok akan lebih baik daripada berpindah ke rokok elektrik. Namun, adanya alternatif yang dapat membantu perokok ini patut untuk dikaji lebih lanjut. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa berhenti merokok secara tiba-tiba (cold turkey) memiliki angka keberhasilan yang sangat rendah,” ujar Prof. Kholil.
Sejauh ini kebijakan pengendalian tembakau yang sudah dilakukan pemerintah dinilai masih belum berhasil karena belum melibatkan semua pemangku kepentingan, yakni perokok aktif selaku konsumen sehingga upaya pengendalian tembakau tidak komprehensif. Kebijakan ini dinilai belum dilakukan secara menyeluruh dan komperehensif.
“Agar masyarakat Indonesia, khususnya perokok, turut berperan mengatasi permasalahan rokok di Indonesia, risk awareness pada masyarakat perlu ditingkatkan. Di sinilah perlunya social engineering untuk mengubah budaya dan tradisi merokok di masyarakat, dan berhenti merokok,” ucapnya.
Prof. Kholil juga mnedorong lebih banyakanya penelitian mengenai pengurangan bahaya tembakau dari berbagai disiplin ilmu, baik dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Penelitian harus obyektif, bebas kepentingan, tidak bersifat politis, dan berdasarkan fakta empiris.
(Via Kompas.com)
Comments