Hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menemukan fakta bahwa bantuan sosial justru mendorong konsumsi rokok bagi para penerimanya. Pasalnya dijumpai fakta konsumsi rokok di kalangan penerima bansos justru lebih besar dibandingkan konsumsi rokok non-penerima bansos.
“Penerima bantuan sosial memiliki kecenderungan merokok lebih tinggi daripada bukan penerima bantuan sosial,” kata Ketua Tim Peneliti PKJS UI Teguh Dartanto saat peluncuran hasil penelitian di Jakarta, awal bulan ini.
Dari penelitian itu diketahui bahwa penerima Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki pengeluaran rokok Rp3.660 per kapita per minggu. Nilainya setara dengan 3,5 batang per kapita per minggu. Konsumsi tersebut lebih tinggi dibandingkan bukan penerima PKH.
Penelitian yang dilakukan PKJS itu menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 dan 2017 serta data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) Gelombang IV dan V. Penelitian yang sama menunjukkan, keluarga penerima bantuan sosial yang merokok kemudian mengonsumsi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat yang jauh lebih rendah daripada keluarga yang tidak merokok.
Selain itu, capaian pendidikan anak dalam keluarga penerima bansos yang merokok pun lebih rendah. Keluarga penerima bantuan sosial yang merokok juga memiliki anak putus sekolah yang lebih tinggi daripada yang tidak merokok. Anak dalam keluarga penerima bansos yang merokok juga ditemukan lebih sering sakit,” tambahnya.
Konsumsi rokok di Indonesia memang kian lama kian besar. Mengutip kajian dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia yang berjudul “Beban Konsumsi Rokok, Kebijakan Cukai, dan Pengentasan Kemiskinan” pada tahun 2012 saja prevalensi perokok di Indonesia mencapai 34,4 persen. Artinya sekitar 86 juta orang dari 250 juta penduduk di Indonesia merupakan perokok aktif.
Angka ini relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Indonesia hanya kalah dibandingkan prevalensi perokok Rusia yang angkanya mencapai 39,1 persen.
Teguh menambahkan, temuan penelitian itu harus disikapi secara hati-hati. Temuan ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan bantuan sosial serta-merta dihentikan. “Bantuan sosial secara tujuan bagus, tetapi keefektifannya berkurang karena ada perilaku merokok dari para penerima bantuan,” ujar Teguh.
Sekadar informasi, menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), tahun 2018 lalu realisasi pemberian bantuan sosial ialah sebesar Rp84,31 triliun atau 103,76 persen dari jumlah yang dianggarkan, yakni sebesar Rp81,26 triliun. Sementara dalam APBN 2019, dana bantuan sosial dianggarkan sebesar Rp102,1 triliun.
Hingga akhir Mei 2019, realisasi dana bansos telah mencapai Rp60,3 triliun atau 59,1 persen dari yang dianggarkan. Padahal pada periode yang sama tahun 2018, realisasi bansos terhadap anggaran baru sebesar 48,3 persen.
(Via Antara)
Comments