PDPI: Percaya WHO atau Riset Lokal?

By Vapemagz | Lifestyle | Jumat, 13 Desember 2019

Keberadaan vape sebagai alternatif bagi perokok masih diperdebatkan. Meski berbagai riset internasional maupun nasional mulai dilakukan dan berhasil membuktikan bahwa vape atau rokok elektronik ialah alternatif yang lebih aman ketimbang rokok elektrik, beberapa organisasi kesehatan masih menolak mentah-mentah hasil riset tersebut.

Salah satunya adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia atau PDPI. Ketua PDPI, dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR menegaskan, vape tidak direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization). Riset yang dilakukan selama ini disebutnya tidak memenuhi kaidah modalitas untuk alternatif berhenti merokok.

“Percaya WHO atau percaya riset lokal?” kata dr Agus. Menurutnya, rokok elektrik masih terkandung senyawa nikotin yang dapat menyebabkan adiksi atau kecanduan.

Meski vape tidak menhasilkan asap, dr Agus menilai vape sama saja dengan rokok karena selain mengandung nikotin juga memiliki kandungan zat karsinogen dan bahan toxic (beracun) maupun iritatif yang dapat merangsang peradangan dan kerusakan sel.

Antara
Ketua PDPI, dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR.

Sementara itu, pendapat senada juga disampaikan ahli paru, dr Rezki Tantular, SpP. Ia mengimbau masyarakat agar tidak terjebak dengan klaim bahwa vape dapat menjadi alat bantu berhenti merokok.

“Karena bukti-bukti ilmiah keamanan penggunaan vape masih dalam rentang waktu yang terlalu pendek untuk disimpulkan bahwa vape lebih aman daripada rokok konvensional,” katanya.

Sebelumnya, peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Dr drg Amalia, Msc Amalia memaparkan hasil temuannya bahwa dikarenakan tidak adanya proses pembakaran pada produk rokok elektrik, maka tidak menghasilkan TAR. Rokok elektrik dianggap memiliki kadar zat kimia lebih rendah daripada rokok biasa.

Penelitian ini didasarkan dengan melakukan perbandingan emisi senyawa aldehyde yang dihasilkan melalui vaping machine dan smoking machine.

“Untuk produk tembakau yang dipanaskan, produk tersebut memiliki emisi aldehyde yang lebih tinggi daripada rokok elektrik, namun tetap jauh lebih rendah daripada rokok,” jelas Amalia.

Vapemagz/Reiner Rachmat Ntoma
Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), drg. Amaliya.

Secara spesifik, kandungan formaldehyde (bahan kimia yang bersifat karsinogenik) pada rokok konvensional mencapai angka 1.480,6; pada produk tembakau yang dipanaskan berkisar di angka 239,1; dan rokok elektrik hanya 23,1.

Begitu juga dengan kandungan acrolein yang menyebabkan gatal pada tenggorokan. Pada rokok konvensional, angkanya sebesar 2.408; pada tembakau yang dipanaskan sebesar 198,7; dan pada rokok elektrik sebesar 15,3.

Kajian tentang perbandingan rokok elektrik dan rokok yang dibakar juga telah dilakukan di beberapa negara. Di Jerman misalnya melalui German Federal Institute for Risk Assessment yang menyimpulkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak sel) lebih rendah hingga 80 persen dibandingkan rokok.

(Via Detik)

Comments

Comments are closed.