Pandangan Pakar Indonesia Terkait Penilaian WHO Soal Vape

By Vapemagz | Lifestyle | Kamis, 24 Januari 2019

Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, para ahli mulai mencoba mencari solusi terbaik untuk menghentikan kebiasaan merokok. Salah satunya dengan menciptakan produk tembakau alternatif yang lebih aman, seperti rokok elektrik atau vape. Berbeda dengan rokok konvensional, rokok elektrik tidak mengandung tar, zat hasil pembakaran yang terdapat dalam rokok.

Beberapa lembaga kesehatan internasional telah melakukan penelitian terhadap sisi keamanan dari vape. Salah satunya Public Health of England (PHE), yang menyatakan produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan 95% lebih rendah dibandingkan produk konvensional, lantaran menggunakan teknik pemanasan ketimbang dibakar.

Lain halnya dengan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Mereka menyatakan perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait efek jangka panjang dari vaping. WHO juga tidak merekomendasikan rokok elektrik sebagai alternatif berhenti, meski mereka mengakui efek samping vape tidak separah rokok konvesional (less harmful).

Terkait dengan pernyataan WHO ini, anggota Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), dr. Feni Fitriani Taufik, Sp. P(K) mengatakan selama ini telah terjadi kesalahan presepsi di kalangan masyarakat Indonesia. Mereka mengira vape merupakan salah satu cara terbaik untuk berhenti merokok, dan terhindar dari efek sampingnya.

“Kalau bisa berhenti sepenuhnya kenapa harus berpindah ke vape. Lagi pula vape itu menggunakan proses pemanasan yang secara tidak langsung ada bahan-bahan kimia seperti plastik dan logam yang memicu timbulnya zat karsinogenik,” tukas Feni.

Hal senada diungkapkan Kasubdit Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr Theresia Sandra Diah Ratih, MHA yang mengatakan bahwa rokok elektrik tidak berbeda dengan rokok tembakau. Bahkan, menurutnya tingkat toksisitas dan efek adiksi (ketagihan) rokok elektrik lebih tinggi.

“Tingkat toksisitas rokok elektrik lebih tinggi karena vape ini diisi berbagai cairan berbahaya dan adiksinya juga lebih tinggi,” papar dr Sandra. Dirinya pun menyarankan perokok yang ingin berhenti lebih bijak apabila ingin beralih ke vape.

Instagram@ypkpindonesia
Dr. Amaliya, MsSc., PhD, peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik.(YPKP).

Berbeda dengan dua pakar tersebut, Ketua Koalisi Bebas TAR (Kabar) dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Dr. drg. Amaliya, Ph.D, menyatakan vape bisa digunakan sebagai alternatif sementara perokok untuk berhenti. Pasalnya, untuk berhenti merokok total secara langsung bukanlah hal yang mudah bagi para perokok. Selain itu, rokok elektrik juga tidak menghasilkan Tar, lantaran tidak dibakar melainkan dipanaskan.

“Kami melakukan penelitian sudah untuk mengetahui bahaya tar yang dibakar dengan tar yang dipanaskan (vape). Kami meneliti mulut para pengguna vape, perokok aktif, dan mereka yang tidak merokok sama sekali. Hasil penelitian menunjukkan, sel-sel yang melapisi pipi bagian dalam para perokok aktif, diketahui memiliki inti sel yang lebih banyak dibandingkan pengguna vape dan mereka yang bukan perokok,” ujarnya.

Penelitian tersebut dilakukan secara langsung oleh dr. Amalya dan timnya, yang dimulai sejak tahun 2014 lalu. Tahun berikutnya, peneliti mulai meneliti likuid yang digunakan pada vape. Penelitian lanjutan dilakukan pada 2017 lalu.

Hasilnya, sel-sel yang ditemukan pada mulut perokok memiliki kecenderungan mengalami ketidakstabilan yang dapat mengakibatkan dysplasia, sebuah kondisi di mana perkembangan sel dan jaringan berjalan tidak normal. Hal serupa tidak ditemui oleh pengguna vape dan mereka yang tidak merokok sama sekali.

“Sosialiasi atau edukasi itu penting. Penyakit yang ditimbulkan oleh rokok itu tidak akan dirasakan secara langsung, namun dalam jangka panjang. Contohnya, 90 % pasien dengan kanker paru memiliki riwayat sebagai perokok saat masih dalam usia produktif (muda). Dalam beberapa kasus yang saya temukan, efek samping dari rokok ini ada juga yang baru terjadi 20 tahun kemudian,” tutur Amaliya.

Menurutnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya mengetahui bahaya rokok dari kandungan nikotinnya yang tinggi. Sementara nikotin diakui sebagai bahan yang bisa memberikan ketagihan, jika ditelaah lebih jauh setidaknya ada 6.000 bahan kimia berbahaya lainnya yang dihasilkan dari proses pembakaran rokok. Salah satunya adalah tar, yang tidak dihasilkan oleh vape.

(Via Okezone)

Comments

Comments are closed.