Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyebut banyak pejabat yang salah paham terkait pendapatan negara dari industri tembakau. Menurutnya, industri tembakau bukan industri strategis untuk pendapatan negara meski industri ini selalu menjadi andalan dalam meraup cukai.
“Cukai tembakau bukan kontribusi dari industri rokok, tapi kontribusi dari kami-kami yang menginginkan konsumsi rokok turun. Untuk itu orang yang merokok kita denda, namanya cukai,” kata Hasbullah dalam diskusi bersama YLKI secara virtual, Selasa (18/8/2020).
Hasbullah menjelaskan bahwa denda ini diberikan atas perilaku hidup yang tidak sehat. Perilaku itu membahayakan dirinya dan orang lain, sehingga menimbulkan penyakit. “Penerimaan Rp170 triliun itu bukan kontribusi dari industri rokok. Melainkan denda yang dilakukan kepada mereka yang merusak kesehatan,” jelasnya.
Ia menambahkan, kontribusi cukai tembakau kerap menjadi salah paham yang sering dibanggakan. Menurutnya, seharusnya masyarakat sedih bukan bangga karena yang didenda si perokok, bukan dari industrinya.

Istimewa
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany.
Hasbullah mencontohkan salah satu industri rokok dalam negeri, yang sebagian sahamnya sudah dimiliki industri rokok global. Pajak yang disetorkan industri itu hanya Rp4,5 triliun, sementara keuntungannya mencapai 13 triliun yang itu dibawa ke luar negeri oleh industri rokok global pemilik saham.
“Banyak artikel ilmiah kesehatan yang menyatakan rokok merusak. Muhammadiyah bahkan sudah mengharamkan rokok. Kalau kesehatan puluhan juta orang rusak karena rokok, maka rusaklah produktivitas bangsa ini,” katanya.
Hasbullah mengatakan negara harus melindungi rakyatnya. Dia meminta para pejabat negara untuk menyadari tugas mereka untuk melindungi rakyat, bukan melindungi industri yang mencari keuntungan dengan produknya yang merusak.
“Mereka mencari keuntungan, tetapi negara yang bertanggung jawab mengobati kerusakannya. Para pejabat negara yang sudah sadar, beranilah berjuang untuk kepentingan rakyat,” ujarnya.
(Via ANTARA)
Comments