Para peneliti sedang bekerja keras untuk menentukan penyebab lebih dari 500 kasus penyakit paru-paru di Amerika Serikat terkait penggunaan rokok elektrik. Setidaknya terdapat delapan kematian di AS, yang memicu penyelidikan kriminal dari Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan AS (US Food and Drug Administration atau FDA).
Kehadiran rokok elektrik memang menghadirkan kontroversi, termasuk di antara komunitas medis. American Lung Association mengatakan bahwa rokok elektrik tidak aman, sedangkan American Cancer Society mengatakan rokok elektrik cenderung kurang berbahaya bagi orang dewasa yang sebelumnya merokok secara teratur.
Salah satu penelitian pro-vaping yang paling banyak dibicarakan adalah eksperimen dengan menggunakan kapas yang membandingkan efek rokok tembakau dan rokok elektrik pada paru-paru. Penelitian yang dilakukan Dr. Lion Shahab, seorang profesor di University College London itu menunjukkan rokok elektrik secara signifikan kurang berbahaya daripada rokok.
Hal ini diamini oleh Public Health England (PHE), yang menyatakan e-ciggarete sebagai produk yang 95 persen kurang berbahaya (less harmful) daripada rokok tembakau.
David Abrams, seorang profesor di New York University (NYU), mengatakan bahwa klaim rokok elektrik sebagai produk pengurangan bahaya sudahlah tepat. Bahkan menurutnya, tidak ada potensi besar rokok elektrik untuk menyebabkan kanker, layaknya rokok konvensional.
“Sebenarnya, saya akan melangkah lebih jauh. Saya pikir tidak ada bukti dari melihat biomarker kanker, bahwa penggunaan vaping bisa menyebabkan 98 persen atau 99 untuk kanker,” ujar Abrams saat diwawancarai CBS News.
Abrams mengatakan dirinya khawatir bahwa kepanikan atas penyakit yang terkait dengan rokok elektrik akan mengalihkan manfaat kesehatan masyarakat bisa ditawarkan dari rokok elektrik. Padahal, munculnya produk rokok elektrik ini sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan teknologi untuk menggunakan nikotin dengan cara yang sangat efektif tanpa bahaya seperti membakar rokok.
“Saya pikir kita sudah lupa bahwa 120 tahun yang lalu, teknologi yang ada ialah mesin penggulung rokok yang menghasilkan produk penyebar epidemi kanker paru-paru dan penyakit lainnya. Sekarang 120 tahun kemudian, kita memiliki peluang untuk menyingkirkan produk rokok itu dengan yang baru,” kata Abrams.
“Jika kita kehilangan kesempatan ini, saya pikir kita akan menghancurkan peluang kesehatan publik terbesar yang pernah kita miliki dalam 120 tahun untuk menyingkirkan rokok dan menggantinya dengan bentuk nikotin yang jauh lebih aman untuk semua orang,” tambahnya.
Dalam program CBS This Morning kolega Abrams di NYU, Terry Gordon yang merupakan profesor dari Fakultas Kedokteran NYU, menunjukkan kembali percobaan dengan kapas seperti yang dilakukan di Inggris. Selama sekitar dua jam, tim NYU mensimulasikan merokok empat bungkus rokok, dan membandingkannya dengan jumlah vaping yang sama.
Terlihat bahwa kapas yang terkena asap rokok akan berubah menjadi kuning cokelat, sementara kapas yang terkena uap vape tetap putih. Hal ini menunjukkan kerusakan yang disebabkan oleh asap rokok terlihat dengan jelas, sedangkan uap yang dihasilkan dari pemanasan likuid rokok elektrik tidak terlalu banyak.
“Perkiraan PHE yang menyatakan rokok elektrik 95 persen lebih aman ketimbang rokok konvensional sudah cukup akurat. Mungkin 80-90 persen lebih aman, saya tidak tahu berapa persentase akuratnya. Tapi yang pasti mereka jauh lebih aman daripada rokok,” ujar Gordon.
Pada akhirnya, meski memang perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan tingkat keamanan vaping, sejatinya peristiwa penyakit terkait dengan penggunaan rokok elektrik tak menyimpulkan bahwa vaping sama atau bahkan lebih berbahaya daripada rokok. Karena jika solusi pengganti rokok itu memang lebih aman, justru alternatif ini akan lebih baik untuk kesehatan para perokok.
(Via CBS News)
Comments