Kepanikan Terhadap Vape Menghasilkan Perang Layaknya Melawan Narkoba

By Vapemagz | Lifestyle | Senin, 20 Januari 2020

Epidemi vaping adalah salah satu masalah kesehatan yang kerap diperbincangkan selama setahun terakhir. Narasi media kerap muncul bahwa setiap orang Amerika khususnya kaum muda kecanduan dan menggunakan produk yang berbahaya.

Anggota parlemen dan pembuat kebijakan telah mengaitkan diri mereka dengan larangan yang menyapu produk rasa, seperti buah-buahan dan mint. Hal ini semakin membuat opini publik terbntuk, bahwa vape adalah produk yang harus dihindari.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan YouGov-Economist yang dirilis minggu lalu menunjukkan 67 persen responden orang dewasa di AS mendukung pelarangan vape rasa. Bahkan perokok, kelompok yang sebenarnya bisa diselamatkan dengan beralih dari ke produk yang lebih kurang berbahaya. Survei menunjukkan sebagian besar perokok mendukung larangan tersebut, dengan 56 persen responden yang diidentifikasi sebagai perokok memberikan persetujuan mereka.

Satu per satu masalah kesehatan tentang vape mulai terungkap kebenarannya. Pada hari Jumat (17/1), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) sebenarnya telah mencabut rekomendasi untuk memperingatkan penggunaan vape. Mereka kini fokus memperingatkan penggunaan produk vape THC, yang ditemukan sebagai penyebab dari penyakit paru-paru misterius atau EVALI.

CDC akhirnya mengkonfirmasi bahwa “wabah” penyakit terkait vaping hampir seluruhnya disebabkan kartrid THC ilegal yang mengandung vitamin E asetat. Sayang, kepanikan terhadap vape sudah menjalar dan terlambat untuk dihentikan.

Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (Food and Drug Administration) telah melarang hampir semua produk vape beraroma (rasa). Beberapa kota telah melarang vaping secara total. Para pembuat kebijakan seolah berlomba untuk membuat larangan baru.

REUTERS/David Mercado
Ada kepanikan vaping di Amerika Serikat dan negara lainnya.

Hal ini diperparah dengan framing dari media-media mainstream. Terlalu banyak jurnalis yang terlibat dalam membentuk opini bahwa vape merupakan produk berbahaya, tanpa memberikan solusi kebijakan yang seharusnya dilakukan.

Contohnya sebuah artikel PBS yang diterbitkan minggu ini, yang melaporkan adanya penurunan kematian akibat kanker sebesar 2,2 persen antara 2016 dan 2017. Alih-alih mengeksplorasi apakah penggunaan vape sebagai alat berhenti merokok turut berperan pada hal ini, penulis malah fokus kepada “Bisakah vape menyebabkan peningkatan kematian akibat kanker paru-paru di AS?”

Penulis mengutip seorang pakar medis di American Lung Association yang mengatakan, “Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah vape akan menyebabkan kanker.” Hal ini sebenarnya menyatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah vaping yang menyebabkan kanker.

Stigma negatif yang terbentuk akibat kepanikan terhadap vape akhirnya hanya berujung pada perang terhadap vape, layaknya perang terhadap narkoba. Sejarah membuktikan sama seperti perang yang gagal terhadap narkoba, hasil larangan vaping kemungkinan besar hanya akan memperluas pasar gelap.

Akibatnya konsumen akan dibanjiri produk berbahaya dan di bawah standar. Hal ini justru lebih berbahaya kepada kesehatan masyarakat. Belum lagi kembalinya mereka yang telah beralih ke vape kembali ke rokok. Ketika suatu produk dilarang, mereka biasanya tidak benar-benar hilang dari peredaran. Biasanya mereka justru menjadi lebih mahal dan lebih berbahaya.

“Epidemi vaping” adalah cara yang salah untuk membingkai apa yang terjadi. Lebih tepatnya adalah “kepanikan” terhadap vaping. Pada akhirnya masalah terkait vape hanya menjadi contoh kasus malpraktek media terburuk dan oportunisme politik di era modern.

(Via Business Insider)

Comments

Comments are closed.