Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat jumlah perokok remaja di Indonesia pada 2018 mencapai 9,1 juta jiwa. Jika pemerintah daerah tidak bergerak mengendalikan aktivitas tersebut, angka ini diprediksi akan semakin bertambah.
“Sejak tahun 2013, perokok remaja sudah dikisaran angka 7,2 juta jiwa. Angka ini bertambah menjadi 8,8 juta jiwa pada tahun 2017, kembali naik menjadi 9,1 juta jiwa di tahun 2018,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Cut Putri Arianie saat kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas Daerah dalam Penyusunan Kebijakan dan Regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Kota Bogor, Rabu (8/5/2019).
“Kami tentu berharap tidak ada peningkatan lagi. Untuk itu pemerintah daerah perlu menindaklanjuti implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Jika memungkinkan, yang terpenting jumlah perokok tidak bertambah, meskipun menurunkannya akan sulit,” tambah Arianie.
Menurut data dari Kemenkes, dua pertiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Indonesia menyumbang separuh dari jumlah perokok dewasa di kawasan Asia Tenggara. Adapun setiap tahunnya diperkirakan ada 200.000 kematian yang diakibatkan oleh rokok.
Sebuah kajian dari Universitas Indonesia menemukan bahwa rokok adalah penyumbang kemiskinan di Indonesia. Penelitian mengungkapkan rokok menjadi pengeluaran tertinggi terbesar kedua di rumah tangga setelah beras. Pembelian rokok di rumah tangga mengalahkan pengeluaran makanan bergizi dan pendidikan, yang sejatinya lebih bermanfaat bagi kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
Untuk itu, Arianie mengajak seluruh kepala daerah di Jawa Barat untuk segera mengimplementasikan kebijakan KTR dengan efektif, demi meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari aktivitas merokok. Kemenkes pun berharap pemerintah pusat dapat meninjau kembali tarif cukai untuk rokok, serta berharap agar Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan supaya rokok tidak dijual bebas secara eceran.
“KTR perlu diberlakukan karena ini perintah undang-undang. Pemda wajib menerapkan KTR. Merokok itu faktor risiko penyakit tidak menular itu tertinggi. Belum lagi kita mengalami bonus demografi, di mana kita memperoleh usia produktif yang banyak. Jangan sampai generasi masa depan kita justru generasi yang paling banyak terpapar penyakit tidak menular,” ungkap Arianie.
(Via Pikiran Rakyat)
Comments