Kak Seto: Vape Sahabat Baru Anak ‘Zaman Now’

By Vapemagz | Lifestyle | Kamis, 6 Februari 2020

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menangkap urgensi keluarnya fatwa Muhammadiyah tentang pengharaman rokok elektrik. Menurut pria yang akrab disapa Kak Seto itu, LPAI siap bahu-membahu berjuang melindungi masyarakat, lebih-lebih anak-anak dari bahaya rokok elektrik yang belakangan menjadi tren di kalangan anak-anak.

“Belum lagi masalah rokok bakar teratasi, bahkan pemerintah tampak belum berhasil menekan jumlah perokok termasuk perokok pemula, Indonesia kini telah dihadang oleh rokok elektrik sebagai bahaya berikutnya. Sinyal bahaya itu sebetulnya sudah ditangkap oleh Universitas Muhammadiyah Hamka (UHAMKA) lewat surveinya pada tahun 2018,” tulis Seto dalam opininya di Beritasatu.

UHAMKA menemukan, prevalensi perokok elektrik adalah 1 dari 8 siswa. Lebih dari separuh adalah mereka yang beralih dari rokok bakar ke rokok elektrik. Hampir 30 persen adalah siswa yang sebelumnya tidak mengisap rokok bakar. Dengan kata lain, mereka benar-benar menjadikan rokok elektrik sebagai produk isap pertama.

“Studi UHAMKA dan pemantauan media sosial yang LPAI lakukan meletakkan dasar yang semakin kuat untuk was-was, bahwa masyarakat, apalagi anak-anak muda, hanya perlu menunggu sedikit waktu lagi untuk nantinya menjadi para pecandu rokok elektrik,” kata Seto.

Kak Seto juga menyoroti strategi kampanye media sosial yang dilakukan oleh salah satu produk rokok elektrik, JUUL. Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Jakarta itu warganet yang secara masif terekspos promosi rokok elektrik itu adalah anak-anak dan remaja.

Antara
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi.

“Saat diluncurkan pada tahun 2015, kampanye JUUL di media sosial hanya 700-an cuitan per bulan. Namun dua tahun sesudahnya, cuitan JUUL bertambah ke 30.000-an per bulannya. Berarti terjadi kenaikan frekuensi kampanye rokok elektrik hingga 4.000 kali lipat setiap bulan,” ucap Seto.

“Sebanyak 45 persen follower akun media sosial JUUL adalah individu-individu berusia 13-17 tahun. Mirip, di Indonesia, pengguna tertinggi Facebook dan Twitter juga mereka dari kelompok usia setara. Percakapan yang berlangsung di media sosial bukan tentang bagaimana berhenti merokok, tetapi tentang bagaimana membeli dan bagaimana menggunakan rokok elektrik,” tulisnya.

Seto menyoroti substansi iklan rokok elektrik yang mengangkat tema tentang normalisasi risiko benda tersebut, di samping pesan-pesan audio visual yang atraktif dan berlangsung terus-menerus. Seto menilai produk rokok elektrik membingkai diri dengan narasi-narasi demokrasi, serta menonjolkan muatan pesan tentang kebebasan, industrialisasi, dan antiregulasi.

“Dampak itu semua mudah ditebak. Iklan rokok elektrik melemahkan upaya pengendalian tembakau, yakni dengan mengganggu keyakinan anak-anak akan bahaya merokok. Strategi dagang via daring dan media sosial merupakan salah satu cara yang ditempuh perusahaan-perusahaan rokok elektrik,” kata Seto.

Untuk itu, Seto menilai perlu ada regulasi untuk mengatur dan menjauhkan produk rokok elektrik dan tembakau dari jangkauan anak-anak dan remaja. Dirinya menilai perlu dasar hukum untuk memagari masyarakat, khususnya anak-anak dari bahaya rokok.

(Via Beritasatu)

Comments

Comments are closed.