Indonesia Jadi Benteng Terakhir Industri Rokok Global

By Vapemagz | Lifestyle | Jumat, 22 Februari 2019

Permasalahan tingginya angka perokok di Indonesia merupakan masalah yang tak kunjung usai. Selain itu, Indonesia juga dianggap menjadi benteng terakhir industri rokok global. Hal itu diutarakan oleh Mardiyah Chamim, penulis buku “A Giant Pack of Lies, Bongkah Raksasa Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan Industri Rokok di Indonesia”.

“Hampir semua negara-negara lainnya sudah mengambil langkah perlindungan kesehatan publik untuk membatasi gerak industri rokok. Hal ini tidak terjadi di Indonesia,” kata Mardiyah dalam diskusi “Campur Tangan Diktator Terselubung Dalam Politik” yang diadakan Social Movement Institute (SMI) di Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Saat menyusun buku Giant Pack of Lies, Mardiyah meneliti dokumen industri rokok yang tersimpan di perpustakaan online University of California San Fransisco, Amerika Serikat. Dirinya menemukan sekitar tiga ribu dokumen yang berisi korespondensi antara kantor pusat Philip Morris, BAT, dengan kantor mereka di Jakarta.

“Isinya tentang nota-nota bagaimana industri mengintervensi kebijakan lokal. Isinya mencerminkan betapa kuatnya intervensi industri rokok,” kata Mardiyah. Sebanyak tiga ribu dokumen tersebut memang sudah kuno, dari tahun 1980 dan 1990-an.

Wartawan senior yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Tempo Institute itu mengatakan tingginya populasi di Indonesia dan rendahnya tingkat pendididkan kesehatan membuat masyarakat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi industri rokok global. Menurutnya, dari 256 juta jiwa penduduk, 70 persen populasi adalah perokok.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 menyatakan bahwa lebih dari 36 persen populasi dewasa di Indonesia adalah perokok. Total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh hilangnya produktivitas akibat penyakit karena rokok mencapai Rp 374,06 triliun.

Mardiyah menilai pemerintah Indonesia lemah dan gampang dipengaruhi oleh kepentingan pemilik modal. Sejatinya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengadakan kampanye kesehatan untuk mengatur standar gaya hidup sehat. Namun hal ini tidak diterapkan di Indonesia, diubah lantaran adanya kepentingan pemilik modal.

“Menurut standar WHO, gaya hidup sehat salah satunya tidak merokok, tetapi kampanye di Indonesia soal merokok jadi hilang,” kata Mardiyah. Dirinya juga menilai politisi Indonesia selaku pembuat regulator juga mudah “dibeli”.

ANTARA/Dewanto Samodro
Diskusi “Campur Tangan Diktator Terselubung Dalam Politik” di Jakarta, Rabu (20/2/2019).

Mardiyah mencontohkan soal ayat tentang tembakau sebagai zat adiktif yang sempat hilang dari Undang-undang Kesehatan. “Di tubuh undang-undang, ayat tentang tembakau hilang. Namun, politikus yang menghilangkan ayat itu lupa menghilangkan dari bagian penjelasan,” katanya.

Hal senada diucapkan oleh Julius Ibrani, pegiat Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Julius membeberkan berbagai jenis upaya regulasi tembakau yang selalu mendapat ganjalan kepentingan industri.

“Bukan hanya sekarang, tetapi mulai dari Undang-Undang tentang Kesehatan 1992, UU Kesehatan 2003 yang ditandai dengan hilangnya ayat tembakau, dan kini dengan tidak kunjung berhentinya pembahasan RUU Pertembakauan. Ini sangat ajaib. Panitia kerjanya adalah anggota DPR yang semuanya adalah bendahara di partai masing-masing,” kata Julius.

Sementara itu, praktisi komunikasi Paramitha Mohamad menggarisbawahi kedigdayaan industri rokok yang sukses membangun mitos. Salah satunya asumsi bahwa industri rokok adalah tiang perekonomian.

“Mitos ini dihembuskan dan dikuatkan terus-menerus sehingga masyarakat yang kritis pada industri rokok dianggap membahayakan perekonomian. Padahal, berbagai studi Bank Dunia menyebutkan kontribusi industri rokok tidaklah terlalu besar,” ujarnya.

Asumsi sesat lainnya yang kerap dibangun industri rokok adalah anggapan bahwa mereka sebagai filantropis mulia. Salah satunya dengan mendukung olahraga dan seni.

“Industri rokok mendapat justifikasi bahwa mereka sedang membela budaya negeri. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat dipaksa memaklumi perusahaan rokok yang menggunakan anak-anak sebagai tameng,” kata Paramitha.

(Via Antara)

Comments

Comments are closed.