Dokter Arifandi Sanjaya Patahkan Mitos Tentang Vape

By Vapemagz | Lifestyle | Selasa, 10 Desember 2019

Setelah mencuatnya beberapa kasus vape yang terjadi di Amerika Serikat, kepanikan akan bahaya dari mengonsumsi vape pun terjadi di Indonesia. Banyaknya informasi simpang siur terkait vape yang beredar di publik pun tak bisa dihindari. Bahkan masih banyak publik yang masih belum mengetahui informasi secara benar dan pasti tentang vape.

Mitos dan fakta seputar vape inipun diluruskan oleh dr. Arifandi Sanjaya, seorang vaper yang juga seorang dokter. Salah satu mitos yang paling banyak menjadi perdebatan adalah anggapan bahwa vape sama saja dengan rokok konvensional. Padahal, keduanya memiliki bahan kandungan yang berbeda.

“(Perbedaan) yang paling utama itu ada di TAR dan karbon monoksida. Nah, kalau beda di karbon monoksida dan TAR, sudah pasti akan lebih nyaman dan tidak sesak,” ungkap dr. Arifandi di salah satu episode YouTube channel lifetsyleOne.

Selain itu, sementara rokok konvensional mengandung lebih dari 7000 bahan kimia berbahaya, likuid vape sendiri hanya mengandung empat bahan utama, yaitu propylene glycol, vegetable glycerine, nikotin, dan essence. Publik pun masih kerap keliru membedakan antara zat TAR dan nikotin yang terkandung dalam produk rokok.

“Kalau nikotin banyak ditemukan ditumbuh-tumbuhan seperti terong dan tomat, dan kadang kita konsumsi dalam jumlah kecil lewat sayuran maupun tumbuhan. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa nikotin itu tidak menyebabkan kanker,” jelas dr. Arifandi

“Kalau TAR sendiri adalah senyawa kimia yang terbentuk dari pembakaran tembakau, dan memang dari TAR sendiri banyak masalah yang disebabkan, dari masalah jantung, paru-paru, kerusakan sel, bahkan kesuburan,” tambahnya.

Vapemagz Indonesia
dr. Arifandi Sanjaya.

Pada bulan November lalu, Journal of The American College of Cardiology menerbitkan studi yang menunjukkan efek vaping untuk kardiovaskular. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada fungsi endotel perokok, terutama perempuan, yang beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik dalam jangka waktu satu bulan.

Pada kesempatan yang sama, dr. Arifandi juga menambahkan bahwa sistem kerja vape adalah melalui pemanasan dan bukan pembakaran seperti rokok konvensional. Ia menjelaskan bahwa derajat pemanasan yang lebih tinggi pada saat proses pembakaran rokok konvensional menyebabkan lebih banyak zat kimia yang terurai. Selain itu, dengan proses pemanasan dalam vape pula lah yang membuat vape menghasilkan uap dan bukan asap seperti rokok konvensional.

Menanggapi kasus penyakit paru-paru yang terjadi di Amerika Serikat, dr. Arifandi mengatakan bahwa kasus serupa tidak akan terjadi di Indonesia karena bahan berbahaya yang menjadi penyebab penyakit paru-paru tersebut tidak dijual dan bahkan ilegal di Indonesia.

“Saya rasa isu yang terjadi di Amerika seharusnya tidak akan pernah terjadi di Indonesia karena baik kandungan likuid yang ada disana dan kandungan likuid yang ada di Indonesia itu pun sangat berbeda. Ada beberapa statement dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) bahwa bahwa masalah yang banyak terjadi itu karena penggunaan likuid yang mengandung THC oil-based. Jadi likuidnya berbahan dasar minyak dan itu yang bermasalah, dan likuid itu dijual secara ilegal di Amerika,” ujar dr. Arifandi.

(Via lifetsyleOne)

Comments

Comments are closed.