Kebiasaan untuk mengonsumsi tembakau khususnya rokok konvensional memang menjadi permasalahan kronik untuk beberapa wilayah di Asia, khususnya Indonesia. Manajer proyek senior untuk Bali Tobacco Control Initiative (BTCI), Dr Putu Ayu Swandewi mengatakan Indonesia memiliki persoalan serius terkait rokok tembakau.
“Negara-negara Asia, khususnya Indonesia, memiliki permasalahan serius terkait rokok tembakau. Dua pertiga dari laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Kita menyumbang separuh dari jumlah perokok dewasa di kawasan Asia Tenggara,” kata Putu.
Menurutnya, hampir setiap tahun ada sekitar 200.000 kematian yang diakibatkan oleh rokok. Jika ditinjau dari jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah (tingkat prevalensi), jumlah perokok yang berumur di bawah 15 tahun juga meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terkahir.
Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 menyatakan bahwa lebih dari 36 persen populasi dewasa di Indonesia adalah perokok. Riset yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada 2017 dengan judul “Nilai Ekonomi dan Kesehatan Tembakau di Indonesia” menunjukkan jika merokok menyebabkan kerugian secara finansial dan sosial dalam keluarga. Total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh hilangnya produktivitas mencapai Rp 374,06 triliun,
Oleh karena itu, Putu menilai perlu upaya meningkatkan pencegahan kebiasaan merokok. Beberapa metode untuk berhenti merokok memang sudah ada, namun upaya tersebut belum sukses untuk mengurangi angka perokok. Salah satunya metode seperti Cold Turkey, yaitu berhenti langsung secara total. Menurut Nicotine and Tobacco Research pada tahun 2007, dari 68,5 persen perokok yang mencoba berhenti dengan metode cold turkey hanya 22 persen di antaranya yang berhasil.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan Direktur Kebijakan Kesehatan Mental di Stanford University, Professor Keith Humphreys, ditemukan bahwa upaya menurunkan angka perokok juga memerlukan perbaikan kondisi ekonomi. Pasalnya, kelompok kelas menengah ke atas memiliki kemungkinan berhasil berhenti merokok yang lebih tinggi lantaran lingkungan di sekitar mereka yang cenderung lebih suportif.
Hal tersebut tidak dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. Keadaan tersebut diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan dan dan pemahaman mengenai bahaya merokok seperti menyebabkan kanker, gangguan jantung, paru-paru, serta penyakit tidak menular lainnya.
Putu juga menjelaskan, sejumlah praktisi kesehatan masyarakat akhir-akhir ini telah memperkenalkan suatu pendekatan yang meminimalkan risiko dan dampak negatif merokok tembakau (harm reduction) yakni melalui Electronic Nicotine Delivery System (ENDS). Metode ini menggunakan alternatif pengganti melalui rokok elektrik (vape) dan produk heat-not-burn (hnb) untuk membantu perokok secara perlahan mengurangi ketergantungan dan kebiasaan mereka dalam merokok konvensional.
Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) telah berhasil diadopsi di berbagai negara, seperti Inggris. Public Health of England (PHE) menemukan bahwa rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan dengan rokok biasa. Meskipun rokok elektrik tidak sepenuhnya bebas risiko, ENDS secara signifikan lebih rendah risiko dan dapat membantu mereka yang ingin berhenti merokok.
“Di Indonesia sendiri, terdapat kebutuhan akan penelitian yang bersifat lokal dan dapat memberikan kejelasan mengenai produk seperti rokok elektronik ini, serta bagaimana produk tersebut dapat berdampak pada perokok dewasa,” kata Putu menjelaskan.
(Via Antaranews)
Comments