Supaya Publik Tidak Anti dengan Istilah ‘Harm Reduction’

By Vapemagz | Lifestyle | Jumat, 18 September 2020

Istilah harm reduction pertama kali digaungkan dalam sektor kesehatan masyarakat untuk menangani isu penyalahgunaan obat terlarang, minuman beralkohol, konsumsi rokok, dan HIV/AIDS. Tujuan absolut dari harm reduction adalah mengurangi risiko atas keselamatan individu dan komunitas pada derajat yang paling rendah, serta mengurangi beban berlebih sistem layanan publik melalui penguatan sistem pencegahan dan membangun kesadaran publik.

Di tengah sudah mapannya perilaku individual dan organisasi, adopsi harm reduction untuk promosi pengurangan risiko tidak mudah dan berpotensi menghasilkan disrupsi sosial. Disrupsi ini akan berujung pada dua kemungkinan skenario negatif: guncangan sosial dan penolakan atau pengabaian.

llustrasi potensi penolakan atau pengabaian akibat adopsi harm reduction bisa ditemukan di banyak kasus lainnya, misalnya sektor Tobacco Harm Reduction (THR) kemungkinan perlawanan akan muncul mulai dari petani, pedagang tembakau, dan perusahaan rokok yang melihat konsep ini sebagai ancaman bagi bisnis mereka.

Bagi masyarakat yang sudah mapan dengan pandangan bahwa tembakau dan rokok sudah menjadi bagian integral kebudayaan, memandang THR sebagai bentuk interupsi kultural. Di beberapa negara Asia misalnya, berbagai jenis produk tembakau alternatif, rokok elektrik, snus, dan tembakau yang dipanaskan (HTP), populer sebagai produk THR.

Laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) menunjukkan Jepang dan Korea yang memasarkan lebih dari satu produk THR dan memberlakukan regulasi batas usia, memiliki angka prevalensi merokok yang lebih rendah dibanding Indonesia.

PHE
Berbeda dengan komunitas medis pada umumnya, Public Health England (PHE) justru mengklaim rokok elektrik 95 persen lebih aman ketimbang rokok konvensional.

Kekhawatiran pemegang kepentingan di sektor-sektor di atas bisa dimengerti. Akan tetapi selama adopsi konsep harm reduction memenuhi prasyarat kelembagaan, mengadopsi teknologi yang memungkinkan konsumen untuk memperbaiki pola konsumsi mereka, maka tidak akan berakhir dengan kepunahan industri.

Berangkat dari ilustrasi tidak mudahnya adopsi prinsip harm reduction dalam kebijakan, pelembagaan prinsip pengurangan risiko ini membutuhkan sejumlah persyaratan. Pertama, adanya sistem dan rezim yang berorientasi pada risiko sebagai pertimbangan kebijakan.

Selama ini spirit kebijakan publik cenderung diletakkan pada kebutuhan pertumbuhan dan ukuran-ukuran keuntungan ekonomi. Menjadikan harm reduction sebagai salah satu pilar nilai dalam rezim kebijakan karenanya menjadi prasyarat pokok.

Kedua, pembentukan sistem kelembagaan yang mendukung implementasi prinsip harm reduction. Keberhasilan harm reduction di banyak sektor dan di banyak tempat sangat ditentukan oleh sistem kelembagaan yang bersifat terpadu, ditandai dengan adanya sinergi antaraktor dan antarsektor.

Dalam konteks sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang cenderung tercerai, koordinasi dan sinergi kelembagaan menjadi permasalahan utama, termasuk dinamika hubungan pusat – daerah dan disharmoni antar kementerian.

Koran Sindo
Wawan Mas’udi, dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM

Ketiga, penguatan keterlibatan dan aksi komunitas. Pengembangan harm reduction yang biasanya berawal dari inisiatif formal pemerintah atau kelompok kepentingan tertentu. Namun agar berjalan efektif, membutuhkan adanya dukungan masyarakat dan melibatkan seluas mungkin komunitas.

Negara perlu melakukan rekognisi atas modal sosial yang kuat di dalam masyarakat dalam rangka menjadikan harm reduction sebagai agenda gerakan sosial, bukan semata program pemerintah.

Keempat, adanya ketercukupan personil yang terampil. Harm reduction membutuhkan dukungan sumber daya manusia yang kuat, yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keterampilan dalam mengkomunikasikan dan meyakinkan semua pemangku kepentingan.

Pelembagaan harm reduction membutuhkan juru kampanye yang bisa membawa pesan-pesan secara jelas dan sederhana kepada masyarakat, sehingga ada dukungan populer atas agenda harm reduction.

Kita tidak hanya disodorkan pilihan yang sulit tetapi juga sebuah kesempatan. Kombinasi ancaman bencana yang bersifat alam (natural risk) maupun sebagai dampak perkembangan teknologi dan ekonomi (human-made risk). Kebutuhan untuk segera mengadaptasi harm reduction menjadi prinsip kebijakan tidak terelakkan.

Kerjasama dalam pengadopsian dan pelembagaan prinsip harm reduction dalam kebijakan hanya akan memperbesar kesempatan untuk membenahi sistem pengelolaan kepentingan publik, yang pada akhirnya akan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Teks: Wawan Mas’udi (Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM) Editor: Thomas Rizal

(Via Koran Sindo)

Comments

Comments are closed.